
Pantau - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menegaskan pentingnya perubahan pola pikir masyarakat sebagai langkah krusial untuk mencegah anak-anak di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) putus sekolah, meskipun berbagai program pendidikan dari pemerintah telah dijalankan.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menyampaikan hal ini dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja (Panja) Pendidikan Daerah 3T dan Marginal yang digelar Komisi X DPR RI.
Ubaid menyebut, tanpa transformasi pola pikir dan budaya masyarakat, terutama terkait pentingnya pendidikan formal, program dari pemerintah akan terus menemui hambatan di lapangan.
Tantangan Budaya dan Lima Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah
Sebagian besar masyarakat di daerah 3T masih memprioritaskan ketahanan ekonomi keluarga dibandingkan pendidikan, dengan asumsi bahwa anak tetap akan menjadi petani, nelayan, atau pekerja hutan meskipun menyelesaikan sekolah.
Ubaid menyoroti bagaimana masyarakat enggan mengizinkan anak menempuh perjalanan dua hingga tiga jam dengan perahu demi menyelesaikan pendidikan tingkat SMP.
Dalam forum tersebut, JPPI juga memaparkan lima penyebab utama anak-anak di daerah 3T berhenti sekolah:
- Terbatasnya jumlah dan buruknya kualitas sekolah
- Jarak dan medan menuju sekolah sulit ditempuh
- Ketidakmampuan membayar biaya pendidikan
- Kasus pernikahan dini dan keterlibatan anak sebagai pekerja
- Rendahnya kesadaran orang tua terhadap pentingnya pendidikan
Untuk jenjang pendidikan dasar (SD), sekolah umumnya masih berada dekat permukiman, namun akses ke tingkat SMP dan SMA sangat terbatas dan jauh dari jangkauan.
Akibatnya, banyak anak hanya menyelesaikan pendidikan hingga SD dan tidak melanjutkan ke tingkat berikutnya, memperbesar risiko kemiskinan antargenerasi.
- Penulis :
- Balian Godfrey