
Pantau - Pemerintah melalui Kementerian Pertanian sedang mengkaji skema tarif ekspor kelapa guna membiayai program peremajaan pohon kelapa milik petani, menyusul meningkatnya permintaan kelapa baik untuk pasar domestik maupun ekspor.
Wakil Menteri Pertanian Sudaryono menyampaikan bahwa kebijakan ini akan meniru skema pungutan ekspor kelapa sawit, dengan tujuan agar sebagian pendapatan ekspor bisa dialokasikan untuk membantu petani mengganti pohon tua dan tidak produktif.
" Sekarang lagi kita kaji supaya ada semacam tarif ekspor seperti sawit sehingga itu yang bisa kita pakai untuk bantu rakyat, untuk peremajaan kelapa-kelapa kita," kata Wamentan saat kunjungan kerja di Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (9/5/2025).
Ia menilai bahwa kebijakan ini merupakan bentuk nyata keberpihakan pemerintah kepada petani, yang selama ini terbebani biaya peremajaan dan minim akses pembiayaan.
BPDP dan Ketimpangan Harga Ekspor Jadi Perhatian
Pemerintah juga mendorong agar dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) dapat digunakan tidak hanya untuk sawit, tetapi juga kelapa sebagai komoditas strategis nasional.
Langkah ini diharapkan mendukung keberlanjutan program peremajaan terutama di daerah pesisir, di mana banyak tanaman kelapa sudah tua dan tidak produktif.
"Karena kelapa-kelapa kita ini yang di pesisir-pesisir itu banyak kan sudah tua-tua, sudah tinggi-tinggi," ujar Wamentan.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Budi Santoso menyebut harga ekspor kelapa saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan harga dalam negeri, yang menyebabkan kelangkaan di pasar domestik.
"Kan ini mahal, karena di ekspor ya. Harga ekspor memang lebih tinggi daripada harga dalam negeri. Karena semua ekspor, akhirnya jadi langka dalam negeri," ujar Budi di Jakarta, Kamis (17/4/2025).
Melalui regulasi tarif ekspor dan pengelolaan dana yang berpihak pada petani, pemerintah ingin memastikan keseimbangan antara ekspor dan kebutuhan domestik, sekaligus mendukung keberlangsungan perkebunan kelapa nasional.
- Penulis :
- Balian Godfrey








