
Pantau - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan dukungannya terhadap langkah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan yang memperketat pengawasan di pusat logistik berikat (PLB) dan kawasan berikat (KB), guna menekan masuknya barang impor murah yang menggerus daya saing industri dalam negeri.
Langkah ini dianggap strategis untuk menjaga pasar domestik dari banjir produk impor jadi, baik legal maupun ilegal, yang kian mendominasi lewat kemudahan distribusi di kawasan berikat dan logistik.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif menjelaskan bahwa pengawasan ketat sangat dibutuhkan karena kedua kawasan tersebut diduga menjadi jalur utama masuknya barang impor murah ke pasar lokal.
"Kita menyaksikan sendiri bagaimana produk jadi impor murah yang berasal dari negara over production, dibeli melalui platform e-commerce dan bisa mencapai pembeli di dalam negeri dalam waktu singkat. Sebagian barang-barang tersebut diduga sudah berada di gudang-gudang PLB," kata Febri.
Ia menegaskan, banyak barang impor yang masuk melalui PLB tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan tidak dikenakan larangan dan pembatasan (lartas), sehingga menjadi barang bebas yang mengancam kelangsungan industri nasional.
Febri menambahkan, pengawasan lebih ketat di PLB dan KB diharapkan bisa menekan peredaran barang impor ilegal maupun legal yang disalahgunakan.
Ketimpangan Fasilitas Industri dan Usulan Kebijakan Baru
PLB merupakan fasilitas logistik dengan keuntungan penangguhan bea masuk dan pajak, selama barang tidak keluar ke pasar domestik.
Sementara itu, kawasan berikat adalah area khusus untuk mendukung ekspor dengan berbagai insentif fiskal, seperti pembebasan bea masuk dan PPN.
Namun, dalam praktiknya, ditemukan sejumlah barang dari kawasan berikat yang seharusnya diekspor justru masuk ke pasar domestik.
"Selama ini barang yang keluar dari Kawasan Berikat yang seharusnya untuk tujuan pasar ekspor, tetapi ternyata juga masuk ke pasar domestik. Hal ini tidak adil bagi industri yang berada di luar kawasan berikat. Industri di luar kawasan berikat tidak mendapatkan fasilitas bea impor bahan baku seperti industri di dalam kawasan berikat," ujar Febri.
Ia menilai kondisi ini menciptakan ketimpangan dan menurunkan daya saing industri lokal yang tidak mendapat insentif serupa.
"Sudah mendapat bea masuk impor bahan baku nol persen, mereka malah dibolehkan menjual produknya di pasar domestik. Tentu produk industri di luar Kawasan Berikat kalah bersaing dengan produk tersebut," tambahnya.
Komisi VII DPR RI juga telah memberikan masukan agar fungsi kawasan berikat dikembalikan ke tujuan awalnya sebagai kawasan khusus ekspor.
Langkah ini diharapkan dapat memperkuat peran PLB dan KB sebagai instrumen pendukung ekspor, bukan sebagai celah masuk produk impor.
Sebagai bentuk perlindungan konkret terhadap industri nasional, Kemenperin juga memperkuat kebijakan domestik melalui penerapan SNI wajib, peningkatan pengawasan barang impor, dan penguatan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
"Permintaan dan penyerapan produk industri di pasar domestik sangat besar, mencapai sekitar 80 persen dari total produk manufaktur. Sisanya, 20 persen diserap oleh pasar ekspor. Ini menjadi potensi yang harus terus dijaga agar tetap dinikmati oleh industri nasional, bukan produk jadi impor," tutup Febri.
Sebagai langkah strategis tambahan, Kemenperin juga mengusulkan pemindahan pintu masuk impor ke wilayah timur Indonesia.
- Penulis :
- Arian Mesa