
Pantau - Indonesia sebagai negara dengan kekayaan budaya yang luar biasa, mulai dari warisan arkeologis hingga seni kontemporer, menghadapi ancaman serius dari praktik perdagangan dan kepemilikan ilegal benda budaya.
Ratifikasi Konvensi UNESCO 1970 dinilai sangat penting untuk mencegah impor, ekspor, dan transfer ilegal benda budaya, serta memperkuat posisi hukum Indonesia dalam upaya pemulangan (repatriasi) artefak ke tanah air.
Konvensi 1970 merupakan kerangka hukum internasional utama untuk melindungi dan memulangkan benda budaya yang hilang atau dicuri secara ilegal.
Sidang tahunan negara anggota konvensi tersebut tengah berlangsung di Paris pada 19–22 Mei 2025, sementara Indonesia masih belum menjadi negara pihak.
Tanpa Ratifikasi, Indonesia Terbatas dalam Diplomasi Budaya Global
Saat ini, negara-negara ASEAN seperti Thailand, Vietnam, Kamboja, Malaysia, dan Timor Leste telah lebih dulu meratifikasi Konvensi 1970, sementara Indonesia belum melangkah ke arah tersebut.
Ketiadaan status sebagai negara pihak membuat Indonesia tidak dapat menggunakan jalur diplomatik formal dalam permintaan pemulangan benda budaya dan tidak memiliki suara dalam pengambilan keputusan strategis konvensi.
Selama ini, proses repatriasi benda budaya ke Indonesia seperti dari Belanda dan Australia masih bergantung pada itikad baik dan negosiasi bilateral, bukan melalui mekanisme hukum internasional yang mengikat.
Ratifikasi Konvensi 1970 akan membuka akses Indonesia ke sistem pelacakan global UNESCO dan mekanisme resmi pemulangan benda budaya.
Namun, terdapat tantangan seperti Pasal 7(b)(ii) konvensi yang mengharuskan negara pemohon memberikan kompensasi jika pihak pemilik dinyatakan beritikad baik, yang dapat merugikan Indonesia dalam kasus benda budaya yang diperoleh pada masa kolonial.
Selain itu, hukum nasional Indonesia belum mengatur kompensasi dan pembuktian "itikad baik" secara jelas, serta belum memiliki database nasional benda budaya yang komprehensif dan terdigitalisasi.
Penguatan Sistem Nasional Jadi Syarat Ratifikasi Efektif
Konvensi 1970 memberikan negara pihak kewenangan menentukan daftar benda budaya yang dilindungi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dan 4.
Namun, banyak benda budaya Indonesia yang masih hidup di komunitas adat dan belum tercatat resmi, sehingga berisiko tidak bisa diklaim jika tidak masuk dalam daftar nasional.
Ratifikasi konvensi ini perlu dibarengi dengan penguatan hukum nasional, sistem inventarisasi, serta strategi pelestarian yang sinkron dengan standar internasional.
Sambil menunggu ratifikasi, pemangku kepentingan disarankan untuk mengambil langkah konkret dalam mengamankan aset budaya dari potensi penyelundupan dan pencurian.
Indonesian Heritage Agency (IHA) sebagai Badan Layanan Umum (BLU) yang mengelola 18 museum dan 34 cagar budaya nasional, dinilai relevan dalam konteks implementasi Konvensi 1970.
Penguatan peran IHA dan peningkatan profesionalisme pengelolaan warisan budaya dapat menjadi fondasi kuat untuk penerapan standar internasional pelestarian benda budaya di Indonesia.
- Penulis :
- Balian Godfrey