
Pantau - Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menegaskan bahwa pembayaran royalti kepada pemegang hak cipta dalam pertunjukan musik merupakan kewajiban promotor atau penyelenggara acara, bukan artis atau pelaku pertunjukan.
Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, menyampaikan hal tersebut saat menjadi pihak terkait dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis, 10 Juli 2025.
"Di dalam praktiknya, yang membayar royalti kepada pemegang hak cipta melalui LMK/LMKN dalam pertunjukan musik live event itu adalah penyelenggara atau promotor acara, bukan pelaku pertunjukan," ungkapnya.
LMKN Tegaskan Peran dan Fungsi Promotor
Dharma menjelaskan bahwa frasa "setiap orang" yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (5) UU Hak Cipta harus dimaknai sebagai promotor atau penyelenggara acara karena mereka adalah pihak yang memperoleh keuntungan langsung dari pelaksanaan acara tersebut.
Menurut Dharma, pembayaran royalti dilakukan melalui LMKN atau Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) untuk memastikan hak-hak ekonomi para pencipta dan pemegang hak cipta tetap terlindungi.
"Tanpa LMKN atau LMK maka pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak akan kesulitan untuk mendapatkan maupun mengelola hak ekonomi dari berbagai penggunaan karya mereka secara komersial," ia mengungkapkan.
LMKN juga memiliki peran penting dalam memfasilitasi pemberian izin penggunaan karya cipta kepada pihak pengguna komersial.
"LMK/LMKN juga berperan dalam memfasilitasi akses berupa izin penggunaan karya cipta bagi pengguna komersial, sehingga kepatuhan pembayaran royalti dapat terlaksana dan karya-karya tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat luas," lanjutnya.
Dharma menyebut bahwa akar persoalan pengelolaan royalti di Indonesia bukan terletak pada aturan hukum, tetapi pada kepatuhan pengguna hak.
"Kami punya data, ada 100 lebih event organizer yang sampai saat ini disomasi tidak mau bayar. Belum lagi pengusaha-pengusaha lainnya yang sama sekali tidak mau bayar," katanya.
Gugatan ke MK dari Para Musisi
Pada 10 Juli 2025, Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan untuk dua perkara uji materi, yakni perkara Nomor 28/PUU-XXIII/2025 dan Nomor 37/PUU-XXIII/2025 dengan agenda mendengarkan keterangan dari pihak terkait.
Perkara Nomor 28 diajukan oleh musisi Tubagus Arman Maulana (Armand Maulana), Nazril Irham (Ariel NOAH), dan 27 musisi lainnya.
Latar belakang pengajuan perkara ini terkait kasus yang menimpa penyanyi Once Mekel, mantan vokalis grup musik Dewa, yang dilarang menyanyikan lagu-lagu Dewa tanpa izin dari pencipta lagu serta harus membayar royalti secara langsung.
Dalam permohonannya, Armand Maulana dan kawan-kawan meminta Mahkamah Konstitusi mencabut keberlakuan Pasal 113 ayat (2) huruf f UU Hak Cipta.
Mereka juga meminta pemaknaan baru terhadap Pasal 9 ayat (3), Pasal 23 ayat (5), Pasal 81, dan Pasal 87 ayat (1) UU Hak Cipta.
Sementara itu, perkara Nomor 37 diajukan oleh grup musik Terinspirasi Koes Plus (T’Koes Band) dan penyanyi Saartje Sylvia.
Mereka mengadukan ke MK karena dilarang membawakan lagu-lagu karya Koes Plus sejak 22 September 2023 oleh ahli waris Koes Plus.
Dalam permohonannya, mereka meminta Mahkamah memberikan pemaknaan baru terhadap Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta.
- Penulis :
- Arian Mesa