
Pantau - Museum Bahari di kawasan Kota Tua, Jakarta Utara, menjadi pusat perhatian publik pada 29 Agustus 2025 seiring kunjungan lembaga berita Xinhua dalam rangka liputan pameran internasional bertajuk "Srivijaya: Across The Land, Rivers and Sea" yang merupakan bagian dari program ARTHEFACT 25.
Pameran tersebut berlangsung sejak 12 Agustus hingga 15 November 2025 dan menjadi salah satu agenda budaya yang paling disorot tahun ini.
Kehadiran Xinhua disambut langsung oleh Ketua Satuan Pelaksana Edukasi Museum Bahari, Nurul Iman, yang mengantarkan rombongan mengelilingi museum dan menuju ruang pameran.
Staf pemandu, Nur Hidayati Fauziah, turut menjelaskan secara detail sejumlah artefak penting peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang dipamerkan, mulai dari alat tukar hingga guci Dinasti Song.
Nurul Iman mengungkapkan, "Pameran ini bekerja sama dengan beberapa kedutaan besar negara lain seperti India, Singapura dan China, serta beberapa balai pelestarian dari Sumatra dan Banten."
Kolaborasi tersebut menegaskan bahwa Sriwijaya tidak hanya penting dalam sejarah Indonesia, tetapi juga dalam jaringan diplomasi Asia kuno.
Sriwijaya: Kerajaan Maritim yang Menguasai Jalur Perdagangan Internasional
Kerajaan Sriwijaya dikenal sebagai salah satu kekuatan maritim terbesar di Asia Tenggara yang berdiri sejak abad ke-7 dan bertahan lebih dari enam abad.
Letaknya yang strategis di Selat Malaka menjadikan Sriwijaya sebagai simpul perdagangan antara peradaban India dan China.
Wilayah kekuasaannya mencakup pelabuhan-pelabuhan vital seperti Selat Karimata, Selat Sunda, dan Laut China Selatan.
Sriwijaya juga membentuk jejaring mandala kekuasaan yang mengintegrasikan komunitas suku laut sebagai penjaga keamanan perairan dan mitra ekonomi.
Prasasti Kota Kapur (686 M) menjadi bukti ekspansi militer Sriwijaya dalam memperkuat kontrolnya atas jalur-jalur perdagangan utama.
Selain menjadi pusat distribusi rempah-rempah dan barang mewah, Sriwijaya juga memainkan peran penting dalam penyebaran dan pembelajaran agama Buddha Mahayana.
Tokoh-tokoh penting seperti Yijing, Atisa Dipankara, dan Dharmakirti menjadikan Sriwijaya sebagai pusat studi agama dan bahasa.
Yijing mencatat bahwa Sriwijaya adalah negeri yang makmur dan teratur serta menyarankan agar para biksu dari China belajar di Sriwijaya sebelum melanjutkan perjalanan ke India.
Catatan perjalanannya yang tertulis dalam "Nanhai Jigui Neifa Zhuan" menjadi bukti penting pengaruh Sriwijaya dalam jaringan intelektual Buddhis Asia.
Kemunduran Sriwijaya dan Upaya Pelestarian Jejak Sejarah
Puncak kejayaan Sriwijaya mulai menurun pada abad ke-11, setelah serangan dari Kerajaan Chola, India Selatan, pada tahun 1025 M.
Serangan tersebut mengakibatkan jatuhnya pelabuhan-pelabuhan penting dan penangkapan Raja Sanggrama Wijayottunggawarman, sebagaimana tercatat dalam Prasasti Tanjore.
Selain serangan dari luar, kemunculan kerajaan-kerajaan baru seperti Trambalingga dan Kedah ikut melemahkan dominasi Sriwijaya.
Faktor geografis seperti pendangkalan Sungai Musi juga memperburuk situasi dengan menghambat akses perdagangan laut ke ibu kota.
Museum Bahari berupaya menghidupkan kembali ingatan sejarah tersebut melalui pameran artefak seperti mangkuk keramik Dinasti Tang dan guci Dinasti Song yang menegaskan koneksi perdagangan global Sriwijaya.
Pameran ini tidak hanya menjadi ruang edukasi publik, tetapi juga simbol penting pelestarian sejarah maritim Indonesia.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf