
Pantau - Anggota Komisi VIII DPR RI Aprozi Alam mengapresiasi dan mendukung penuh usulan Kementerian Haji dan Umrah terkait penyetaraan masa tunggu jamaah haji Indonesia menjadi sekitar 26-27 tahun.
Usulan Penyetaraan Antrian Haji
Usulan tersebut disampaikan dalam rapat kerja Kementerian Haji dan Umrah dengan Komisi VIII DPR RI, di mana Menteri Haji dan Umrah Gus Irfan Yusuf menjelaskan bahwa kebijakan ini dimaksudkan untuk menyeragamkan antrian jamaah dari Aceh hingga Papua.
Dasar usulan ini adalah adanya ketidaksesuaian pembagian kuota haji antar provinsi dengan Undang-Undang yang berlaku, sehingga masa tunggu jamaah haji saat ini sangat timpang.
Data Kementerian Agama akhir 2023 mencatat Jawa Barat memiliki masa tunggu 30-40 tahun, sementara Papua Barat dan beberapa provinsi di Indonesia Timur hanya di bawah 15 tahun.
Ketimpangan tersebut muncul karena sistem kuota haji berbasis populasi Muslim (1:1000) serta pengaturan antrian di masing-masing daerah.
Aprozi menilai kebijakan penyetaraan sejalan dengan semangat keadilan dan pemerataan.
"Kebijakan ini, jika diterapkan, pada dasarnya menjawab keresahan jamaah di daerah dengan antrian panjang yang merasa haknya tidak setara dengan daerah lain. Ini adalah momentum untuk memperbaiki sistem yang selama ini dianggap timpang," ungkapnya.
Tantangan Implementasi dan Potensi Dampak
Meski begitu, Aprozi mengingatkan bahwa pelaksanaan kebijakan ini tidak sederhana.
"Yang harus kita pahami, kebijakan ini adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan keadilan prosedural. Di sisi lain, ia berpotensi menimbulkan kejutan dan ketidakadilan substantif bagi jutaan calon jamaah yang telah lama mengantri dengan ekspektasi berdasarkan sistem lama," jelasnya.
Bagi provinsi dengan masa tunggu pendek seperti Papua Barat, kebijakan ini berpotensi menaikkan masa tunggu menjadi 26-27 tahun.
"Ini bisa menimbulkan kekecewaan dan rasa tidak adil dari calon jamaah di daerah tersebut yang telah berencana berdasarkan perkiraan lama. Pemerintah harus menyiapkan skenario komunikasi publik yang sangat baik untuk hal ini," ujar Aprozi.
Sebaliknya, untuk daerah seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah, kebijakan ini akan memangkas masa tunggu, namun harus diiringi kesiapan infrastruktur pendaftaran, pembinaan, dan pelayanan agar kuota yang bergerak lebih cepat dapat ditangani.
Aprozi juga menekankan bahwa kebijakan ini tidak menambah kuota haji Indonesia, sebab kuota ditentukan oleh populasi Muslim dunia.
"Kita harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak malah mengurangi kuota Indonesia secara keseluruhan. Diplomasi yang kuat dengan Pemerintah Arab Saudi tetap kunci untuk mempertahankan dan jika mungkin menambah kuota kita," katanya.
Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada integrasi data tunggal antar provinsi.
"Kementerian Haji dan Umrah harus memastikan sistem database haji terpadu benar-benar siap, akurat, dan transparan untuk mencegah manipulasi data dan memastikan perpindahan antrian berjalan mulus," tutur Aprozi.
Komisi VIII DPR RI akan mendorong Kementerian Haji dan Umrah melakukan pemetaan dampak secara komprehensif serta membuka dialog antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan DPRD untuk sosialisasi kebijakan dan penyerapan aspirasi masyarakat.
"Kebijakan ini adalah sebuah terobosan yang berani. Tujuan akhirnya mulia, yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tugas kita bersama, terutama Pemerintah dan DPR, adalah memastikan jalan menuju keadilan itu tidak menimbulkan luka baru. Mari kita sambut dengan pikiran terbuka, namun kita kawal dengan sikap kritis dan responsif untuk melindungi hak-hak calon jamaah haji Indonesia," kata Aprozi.
- Penulis :
- Arian Mesa