Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Dugaan Limbah Dapur MBG Cemari Irigasi di Ngawi, DPR Desak Pemerintah Susun SOP Nasional

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Dugaan Limbah Dapur MBG Cemari Irigasi di Ngawi, DPR Desak Pemerintah Susun SOP Nasional
Foto: (Sumber: Anggota Komisi VI DPR RI Budi Sulistyono Kanang. Foto: Farhan/vel.​​​​​​)

Pantau - Terjadi dugaan pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah dapur program Makan Bergizi Gratis (MBG) ke saluran irigasi pertanian di Desa Jambangan, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi.

Air irigasi yang tercemar tersebut dilaporkan berubah warna, mengeluarkan bau menyengat, berbusa, dan mengganggu pertumbuhan tanaman padi milik warga.

Sejumlah petani mengeluhkan bahwa tanaman padi mereka tidak tumbuh merata, bahkan sebagian mulai mengering.

Budi Sulistyono Kanang, anggota Komisi VI DPR RI, mendesak pemerintah pusat dan daerah segera menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) yang tegas dalam pengelolaan limbah dapur MBG.

Ia menegaskan bahwa persoalan ini bukan hanya isu lokal, tetapi menyangkut kepentingan strategis nasional karena berpotensi mengganggu ketahanan dan kedaulatan pangan.

"Program nasional yang utama adalah kedaulatan pangan. Apapun langkahnya itu tidak boleh mengganggu ketahanan pangan. MBG boleh jalan, tapi jangan mengganggu," ungkapnya.

Kanang menyebut bahwa meskipun program MBG bertujuan positif untuk meningkatkan gizi anak sekolah, pelaksanaannya tidak boleh mengorbankan lingkungan dan sektor pertanian.

Berdasarkan pengamatannya di lapangan, limbah dari dapur MBG mencemari saluran irigasi yang digunakan oleh petani untuk mengairi sawah mereka.

"Setelah dilihat, pembuangan ini menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak merata dan mulai dirasakan dampaknya. Limbah langsung seperti ini harus mendapat perhatian serius," ia mengungkapkan.

SOP Ketat Dianggap Solusi Pencegahan Masalah

Kanang menilai akar dari persoalan ini terletak pada lemahnya perencanaan dan pengawasan program MBG di daerah.

Menurutnya, pengelola dapur lebih fokus pada memasak dan distribusi makanan, tanpa memperhatikan dampak lingkungan dari limbah yang dihasilkan.

"Dapur ini tidak direncanakan dengan baik. Mereka hanya memasak sampai matang dan diterima siswa, padahal yang seharusnya diperhitungkan adalah bagaimana limbahnya dibuang ke mana dan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan," jelasnya.

Ia juga menegaskan bahwa secara nasional, ketahanan pangan adalah prioritas utama negara.

"Kalau kita bicara nasional, program utama dan prioritas negara adalah ketahanan pangan. MBG itu menyusul. Jadi munculnya MBG ini tidak boleh mengganggu program ketahanan dan kedaulatan pangan," tambahnya.

Untuk mencegah kejadian serupa, Kanang mendesak agar pemerintah menyusun SOP yang mencakup kewajiban memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), izin lingkungan resmi, serta pengawasan rutin dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH).

"Harus ada SOP yang tegas terkait tata kelola dapur MBG, termasuk IPAL wajib, izin lingkungan, dan pengawasan berkala dari DLH. Ini penting agar kasus seperti di Ngawi tidak terulang," katanya.

SOP nasional ini diharapkan menjadi pedoman teknis yang dapat diikuti oleh semua penyelenggara dapur MBG di seluruh Indonesia.

"Kalau semua dapur MBG punya SOP yang sama dan diawasi, maka tidak akan ada lagi kasus seperti ini. Kita tidak ingin program yang tujuannya mulia justru menimbulkan masalah baru di lapangan," tegasnya.

Dorongan Evaluasi dan Pembentukan Tim Terpadu

Kanang juga meminta agar pemerintah pusat segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh dapur MBG di Jawa Timur, terutama dalam aspek teknis dan perizinan lingkungan.

Menurutnya, evaluasi tersebut penting agar kebijakan sosial tidak memberikan dampak negatif terhadap sektor pangan.

Ia juga mendorong dibentuknya tim terpadu lintas instansi untuk menyusun SOP nasional yang komprehensif, mulai dari desain dapur, sistem IPAL, manajemen limbah, hingga evaluasi rutin.

"Pengawasan itu wajib, bukan insidental. DLH harus aktif memeriksa kelayakan lingkungan setiap dapur MBG. Jangan sampai kasus seperti di Ngawi ini baru ramai setelah petani menjerit," tutupnya.

Penulis :
Aditya Yohan