HOME  ⁄  Nasional

Indonesia Ajukan Proposal Internasional di WIPO untuk Atasi Ketimpangan Royalti Digital Global

Oleh Leon Weldrick
SHARE   :

Indonesia Ajukan Proposal Internasional di WIPO untuk Atasi Ketimpangan Royalti Digital Global
Foto: Wakil Menteri Luar Negeri RI Arif Havas Oegroseno (ketiga dari kanan) memimpin delegasi Indonesia dalam sidang SCCR WIPO di Jenewa, Swiss, Senin 1/12/2025 (sumber: Kementerian Hukum RI)

Pantau - Pemerintah Indonesia secara resmi mengajukan Indonesian Proposal for a Legally Binding International Instrument on the Governance of Copyright Royalty in Digital Environment dalam sidang Komite Tetap Hak Cipta dan Hak Terkait (SCCR) di bawah Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) di Jenewa, Swiss, pada Senin, 1 Desember 2025.

Wakil Menteri Luar Negeri RI Arif Havas Oegroseno memimpin delegasi Indonesia dalam pengajuan proposal tersebut.

Ia menekankan bahwa para pencipta sering kali hanya menerima sebagian kecil dari pendapatan atas karya mereka di lingkungan digital global.

"Realitas ini tidak semata-mata merupakan persoalan ekonomi, ini adalah persoalan keadilan, kewajaran, dan pengakuan moral," ungkapnya.

Indonesia menyerukan komitmen baru dan aksi bersama untuk membenahi sistem distribusi royalti global melalui proposal yang telah dirancang sejak Mei 2025 oleh Menteri Hukum RI Supratman Andi Agtas.

Arif menyatakan bahwa pengajuan ini merupakan tanggung jawab negara untuk melindungi hak ekonomi kreator secara global dari ketimpangan struktural dalam ekosistem royalti digital.

Mengutip data UNESCO dan Bank Dunia, sekitar 55,5 miliar dolar AS royalti musik dan audiovisual setiap tahun tidak berhasil dikumpulkan, tidak tercatat, dan tidak diterima oleh penciptanya.

"Keadilan pada gilirannya menuntut adanya transparansi agar para pencipta dapat memahami bagaimana royalti mereka dihitung, didistribusikan, dan dilaporkan," ia menegaskan.

Visi Indonesia atas Reformasi Royalti Digital

Proposal Indonesia menyoroti empat persoalan struktural utama yang menyebabkan ketimpangan royalti digital, yakni:

  • Metadata karya yang terfragmentasi.
  • Ketergantungan pada model pembagian royalti yang tidak adil.
  • Perbedaan penilaian nilai royalti antarnegara.
  • Sistem distribusi yang tidak transparan.

"Pada ekosistem digital, siapa yang menguasai data, dia yang menguasai nilai. Ini lah akar persoalan royalti global saat ini," ujar Supratman.

Untuk mengatasi hal tersebut, Indonesia menawarkan arsitektur tata kelola royalti digital global melalui tiga pilar utama:

  • Standardisasi metadata fonogram dan audiovisual secara global.
  • Kewajiban transparansi lisensi, penggunaan, dan distribusi royalti lintas negara.
  • Pembentukan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas global melalui audit internasional.

Ketiga pilar ini dirancang agar tidak ada lagi karya yang hilang dari sistem, pemanfaatan karya tercatat secara akurat, dan nilai ekonominya menjadi jelas.

Indonesia menegaskan bahwa instrumen internasional yang digunakan harus bersifat legally binding, karena pendekatan soft law terbukti tidak cukup kuat dalam menghadapi dominasi platform digital global.

"Tanpa kewajiban hukum dan sanksi yang tegas, transparansi hanya akan menjadi komitmen moral yang tidak memiliki daya paksa," tegas Arif.

Dukungan Politik dan Harapan bagi Kreator Dunia

Proposal Indonesia telah dibahas secara bilateral dengan kelompok GRULAC (Amerika Latin dan Karibia), Jepang, dan Amerika Serikat dalam rangkaian sidang SCCR WIPO yang berlangsung pada 1–5 Desember 2025 dan diikuti oleh 194 negara anggota.

Menkumham RI Supratman Andi Agtas menyatakan bahwa proposal ini akan memberikan dampak signifikan bagi kreator global, termasuk dari Indonesia.

Melalui sistem yang diusulkan, kreator akan memiliki akses ke data pemutaran karya secara global, mengetahui konsumsi tertinggi per negara, serta mendapatkan nilai ekonomi yang akurat dan royalti yang selama ini tertahan.

"Nilai ekonomi musik dan audiovisual Indonesia bahkan berpotensi meningkat hingga triliunan rupiah per tahun seiring terbukanya akses data global yang selama ini tertutup," jelas Supratman.

Ia juga mengajak para kreator untuk melindungi kekayaan intelektualnya melalui pencatatan hak cipta sebagai langkah awal memperjuangkan hak ekonomi mereka.

"Tetaplah berkarya dan percayalah bahwa negara sedang memperjuangkan hak Anda, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di hadapan dunia," ia menambahkan.

Delegasi Indonesia dalam sidang SCCR WIPO juga diperkuat oleh Hermansyah Siregar, Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham, serta Andry Indradi, Kepala Badan Strategi Kebijakan Hukum Kemenkumham, yang turut memperkaya substansi proposal Indonesia.

Penulis :
Leon Weldrick