
Pantau - Serangkaian keputusan presiden yang mengeluarkan amnesti, abolisi, dan rehabilitasi dalam waktu berdekatan dinilai mengguncang kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Instrumen prerogatif tersebut seharusnya menjadi alat untuk mengoreksi kesalahan ekstrem negara, tetapi kini dianggap mencerminkan problematika penegakan hukum seperti penyalahgunaan kewenangan penyidik, lemahnya kualitas dakwaan, dan vonis yang dipaksakan seolah demi memenuhi ekspektasi publik.
Muncul pertanyaan apakah sistem peradilan mengalami kerusakan struktural ketika presiden harus turun tangan berulang kali untuk memperbaiki proses yudisial.
Amnesti, abolisi, dan rehabilitasi tidak hanya dipandang sebagai kebijakan belas kasihan atau sekadar pemulihan nama baik, tetapi sebagai alarm keras mengenai ketidakseimbangan kewenangan penegak hukum dan perlindungan hak asasi warga negara.
Bila perkara yang diperbaiki presiden sejak awal sebenarnya tidak layak diproses, maka akar masalah berada pada rangkaian penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang gagal menjaga asas due process of law.
Negara hukum dinilai runtuh bukan karena presiden memakai haknya, melainkan karena aparat penegak hukum dianggap memaksa hukum bekerja di luar rel.
Alarm terhadap penegakan hukum bersuara lebih nyaring ketika menyangkut perkara korupsi karena area ini sangat sensitif, opini publik mudah terbakar, dan tekanan politik kerap kuat.
Tidak ada hakim tipikor yang berani memutus bebas tanpa risiko reputasi, sementara jaksa sering menafsirkan kerugian negara sebagai tindak pidana tanpa membedakan antara kesalahan administrasi dan niat jahat.
Penyidik dinilai cenderung mengedepankan pendekatan represif daripada analisis objektif.
Ketika presiden memberi amnesti atau rehabilitasi, kritik muncul bukan soal kewenangannya, tetapi karena tindakan itu dianggap menyoroti lubang besar dalam sistem penegakan hukum.
Jika tidak diperbaiki, hak prerogatif presiden akan terus berfungsi sebagai tambal sulam dan bukan solusi atas keretakan sistem peradilan.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf







