Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Ironi Bantuan Pascabencana di Sumatera: Antara Kepedulian Tulen dan Citra di Depan Kamera

Oleh Gerry Eka
SHARE   :

Ironi Bantuan Pascabencana di Sumatera: Antara Kepedulian Tulen dan Citra di Depan Kamera
Foto: (Sumber: Ilustrasi. Petugas mengawal bantuan yang dikirim oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggunakan KP Orca 05 yang diberangkatkan dari Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Jakarta Utara, Sabtu (6/12/2025). ANTARA/HO-Kementerian Kelautan dan Perikanan.)

Pantau - Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November hingga awal Desember tak hanya menyisakan kerusakan fisik, tetapi juga membuka potret sosial yang menyedihkan: bantuan yang dibungkus demi citra diri.

Di tengah banyaknya pihak yang tulus memberikan bantuan kepada korban bencana akibat dampak siklon Senyar, muncul pula fenomena pemberian bantuan yang dilakukan hanya saat kamera menyala.

Pola pikir seperti "jika saya memberi bantuan, maka saya orang baik" semakin jamak terlihat di tengah masyarakat.

Fenomena ini menjadi cerminan budaya homo economicus, yakni manusia yang bertindak berdasarkan kalkulasi, bahkan dalam hal yang seharusnya didorong oleh empati.

Budaya Altruisme Timbal Balik dan Konten Citra

Fenomena ini dikenal dengan istilah altruisme timbal balik, sebagaimana dijelaskan oleh Robert Trivers dalam tulisannya The Evolution of Reciprocal Altruism pada tahun 1971.

Trivers menyebut bahwa manusia kadang memberi bantuan dengan harapan akan mendapat imbalan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari penerima bantuan.

Pertanyaannya kemudian adalah: apa imbalan yang dicari dari tragedi kemanusiaan di Sumatera?

Contoh yang mencolok dapat dilihat dari konten yang dibuat para influencer yang membagikan uang atau barang kepada orang yang dianggap membutuhkan, lalu menyebarkannya di media sosial.

Padahal, bantuan bisa diberikan tanpa publikasi, namun banyak yang justru mengandalkan sorotan kamera untuk menunjukkan kesan bahwa mereka adalah pribadi dermawan.

Praktik ini mencederai nilai-nilai gotong-royong yang menjadi dasar solidaritas bangsa Indonesia.

Tragedi kemanusiaan seharusnya tidak dijadikan alat untuk membangun persepsi publik demi citra pribadi.

Krisis Kemanusiaan dan Tantangan Pascabencana

Saudara-saudara kita di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat saat ini berada dalam kondisi sulit dan membutuhkan bantuan nyata, bukan sekadar tayangan empati di media sosial.

Sayangnya, semakin banyak terlihat oknum yang menjadikan tragedi ini sebagai panggung citra di depan kamera.

Fenomena ini merupakan penyakit kebudayaan yang sulit disembuhkan tanpa partisipasi kolektif masyarakat dan ketegasan moral.

Memberi bantuan adalah tindakan mulia, tetapi harus berangkat dari rasa simpati dan empati, bukan dari kepentingan personal.

Laporan World Giving Index 2024 oleh Charities Aid Foundation (CAF) menempatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia dengan skor tertinggi, yakni 74 dari 100 berdasarkan survei terhadap 14.702 responden dari 142 negara.

Namun, posisi ini akan kehilangan makna jika semangat memberi mulai terdistorsi oleh kepentingan pribadi dan ego digital.

Masyarakat perlu terus mengambil langkah nyata, terlebih Indonesia kini tengah menghadapi krisis ekologis yang berdampak langsung pada kehidupan manusia.

Tanggung jawab bersama terhadap penderitaan korban bencana harus diwujudkan dalam bentuk nyata: doa, tenaga, dana, atau bantuan kemanusiaan yang tulus.

Pemulihan Jangka Panjang dan Reformasi Tata Kelola Lingkungan

Sinergi antara masyarakat dan pemerintah sangat dibutuhkan untuk membuka akses ke wilayah terdampak agar bantuan cepat tersalurkan.

Namun, tidak cukup hanya berhenti di sana.

Diperlukan langkah-langkah pemulihan jangka panjang, seperti penghidupan layak, akses pendidikan, perbaikan infrastruktur, pelayanan kesehatan, serta tata kelola lingkungan yang lebih baik.

Banjir besar di Sumatera juga menunjukkan bahwa krisis ini tak lepas dari akar permasalahan serius: deforestasi dan alih fungsi lahan.

Gelondongan kayu yang terbawa arus menjadi bukti kerusakan di hulu daerah aliran sungai (DAS), akibat pembalakan liar dan pengelolaan lahan yang tidak berkelanjutan.

Bencana ini harus menjadi titik balik bagi pemerintah untuk membenahi sistem pengelolaan lahan dan hutan demi menyelamatkan ekosistem yang rentan.

Sudah saatnya pemerintah memprioritaskan kebijakan berbasis konservasi dan pencegahan bencana, bukan sekadar responsif terhadap dampaknya.

Ironi pascabencana ini mengingatkan bahwa tanpa kebijakan yang berakar pada nalar ekologis dan kepekaan kemanusiaan, bencana serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali terjadi di wilayah lain.

Penulis :
Gerry Eka