
Pantau - Mahkamah Konstitusi (MK) mendorong DPR dan pemerintah untuk mengkaji secara komprehensif serta merumuskan ulang Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), terutama Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.
Putusan MK dan Dorongan Reformulasi UU Tipikor
Dorongan ini disampaikan MK dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 142/PUU-XXII/2024 yang mengadili uji materi atas dua pasal dalam UU Tipikor.
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyatakan, "Melalui putusan a quo Mahkamah menegaskan agar pembentuk undang-undang segera memprioritaskan melakukan pengkajian secara komprehensif dan membuka peluang untuk merumuskan ulang UU Tipikor a quo, khususnya berkaitan dengan norma Pasal 2 ayat (1) dan norma Pasal 3 UU Tipikor," ungkapnya.
Mahkamah menyampaikan lima poin utama yang harus menjadi perhatian DPR dan pemerintah dalam menyusun ulang UU Tipikor.
Pertama, norma Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 perlu dikaji secara menyeluruh.
Kedua, hasil kajian tersebut harus menjadi dasar prioritas jika diperlukan revisi.
Ketiga, setiap perubahan harus dihitung dengan matang agar tidak melemahkan komitmen pemberantasan korupsi sebagai extraordinary crime.
Keempat, norma sanksi pidana harus dirumuskan secara lebih jelas dan pasti untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan.
Kelima, proses perumusan ulang harus melibatkan publik secara bermakna melalui prinsip partisipasi publik yang inklusif.
Penolakan Uji Materi dan Imbauan Kewaspadaan
Dalam perkara ini, MK menolak permohonan uji materi yang diajukan oleh tiga warga negara: Syahril Japarin (mantan Dirut Perum Perikanan Indonesia), Kukuh Kertasafari (mantan pegawai PT Chevron Pacific Indonesia), dan Nur Alam (mantan Gubernur Sulawesi Tenggara).
Ketiganya merupakan mantan terdakwa kasus korupsi yang dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
MK menyatakan dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum dan tidak terdapat persoalan konstitusional dalam norma yang diuji.
Meski permohonan ditolak, MK mengakui adanya diskursus terkait ketidakkonsistenan penegakan hukum dan penafsiran yang tidak seragam atas kedua pasal tersebut.
Hakim Guntur menambahkan, "Termasuk dalam hal ini penerapan prinsip business judgement rule yang beririsan dengan penilaian iktikad baik yang berimpitan dengan hubungan hukum keperdataan untuk menghindari terjadinya penerapan hukum yang tidak berkepastian dan berkeadilan dalam menyeimbangkan antara hak pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi," ia mengungkapkan.
MK juga mengingatkan bahwa hingga perubahan dilakukan, aparat penegak hukum harus lebih cermat dan hati-hati dalam menangani perkara korupsi.
Penjelasan Pasal dan Proyeksi Legislasi
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor mengatur pidana terhadap setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, dengan ancaman penjara seumur hidup atau 4–20 tahun, serta denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
Pasal 3 mengatur pidana bagi penyalahgunaan kewenangan karena jabatan yang merugikan negara, dengan ancaman serupa: penjara seumur hidup atau 1–20 tahun dan/atau denda Rp50 juta hingga Rp1 miliar.
Karena MK tidak berwenang merumuskan norma pidana, maka penegasan dalam putusan tersebut ditujukan sebagai peringatan bagi pembentuk undang-undang.
Saat ini, UU Tipikor tercantum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029 sebagai salah satu prioritas revisi.
- Penulis :
- Leon Weldrick







