
Pantau.com - Netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam Pilkada dinilai Pengamat otonomi daerah dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Mikhael Tomi Susu, tak perlu diatur secara khusus atau disamakan dengan TNI/Polri.
"Tidak perlu aturan agar ASN netral. Ini merupakan proses belajar dalam berdemokrasi bagi ASN," kata Tomi Susu di Kupang, Rabu (2/5/2018).
Dia mengatakan, hal yang paling penting adalah lembaga kehormatan seperti Bawaslu, Ombudsman dan lembaga-lembaga independen mengontrol obyektivitas ASN.
Selain meminimalisir ASN menjadi partisan, lembaga tersebut juga dapat menindak tegas pelanggaran ASN terhadap kewajiban netral tersebut sesuai dengan aturan.
"Jika dibuat regulasi agar ASN dicabut hak memilih maka akan berdampak pada banyak hal lain, seperti linier dengan pencabutan hak memilih akan juga berkonsekuensi pencabutan hak dipilih," katanya.
Baca juga: Prabowo Sebut Elite Indonesia Bodoh dan Berhati Beku
Pada dimensi berikutnya, ASN adalah instrumen atau aparatur yang melaksanakan kebijakan-kebijakan politis.
"Jika ASN tidak memilih, bagaimana dengan risiko-risiko yang mungkin ditimbulkan pada saat implementasi kebijakan politis," katanya dalam nada tanya.
Pada frame ini, ASN dituntut agar netral, yang berisi juga pembelajaran agar ASN juga netral dalam mengimplementasikan kebijakan politis.
Menurut dia, apatisme dan pragmatisme mungkin dapat tumbuh subur dalam iklim implementasi kebijakan politis.
"Jadi bagi saya, reformasi birokrasi telah berjalan relevan dan signifikan bagi proses pembelajaran itu. Banyak generasi ASN juga mulai tidak perduli terhadap proses politik," katanya.
Fakta obyektivitas ASN ini akan berkembang sejajar dengan "trend" kedewasaan berdemokrasi, katanya.
Dia menambahkan, banyak pula calon kepala daerah dan calon legislatif menduga instrumen ASN dapat digunakan sebagai misalnya mesin partai.
Kegagalan-kegagalan parpol dalam memobilisasi rakyat dan menanamkan kredibilitas publik terhadap kinerja parpol, seringkali ikut memberi kontribusi bagi kader-kadernya untuk kembali menjalin 'selingkuh' dengan ASN.
"Kalau demikian, lantas bagaimana menumbuhkan netralitas independen dan obyektif dalam tubuh ASN, jika mereka juga menikmati perselingkuhan itu," kata staf pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unwira ini.
- Penulis :
- Dera Endah Nirani