
Pantau - Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, menyatakan bahwa Amerika Serikat adalah hambatan utama dalam upaya mengaktifkan kembali kesepakatan nuklir 2015, usai kepulangannya dari Majelis Umum PBB (UNGA) di New York pada Sabtu, 27 September 2025.
Pezeshkian menyampaikan pernyataan tersebut setibanya di Bandara Teheran, bersamaan dengan akan diberlakukannya kembali sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang sebelumnya telah dicabut melalui perjanjian nuklir.
Ia menyebut bahwa Prancis, Inggris, dan Jerman telah diberi tahu tentang kesiapan Iran untuk bekerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) selama pertemuan di New York.
Namun, menurutnya, AS terus mencari-cari alasan baru untuk menggagalkan tercapainya kesepakatan.
"AS selalu berusaha mencegah tercapainya kesepakatan dengan mengemukakan alasan-alasan baru," ungkap Pezeshkian.
Ia juga menegaskan bahwa "faktanya, AS tidak dapat menoleransi Iran yang kuat dan ingin melemahkan negara kami."
Iran Tarik Duta Besar, Sebut Snapback Sebagai Langkah Ilegal
Ketegangan meningkat sejak Prancis, Inggris, dan Jerman mengaktifkan klausul snapback dalam Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) pada bulan sebelumnya.
Klausul ini memulihkan sanksi PBB yang semula dicabut, sebagai respons atas dugaan pelanggaran Iran terhadap isi perjanjian.
Sebagai bentuk protes, Iran menarik para duta besarnya dari Paris, London, dan Berlin.
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, mengecam keras langkah snapback yang diambil oleh ketiga negara Eropa tersebut.
Ia menyebut mekanisme itu sebagai tindakan "ilegal, tidak sah, dan tidak memiliki dasar hukum", serta menyalahkan krisis diplomatik ini pada "pengkhianatan AS dan sikap pasif Eropa."
"AS mengkhianati diplomasi. Eropa menguburnya," tegas Araghchi dalam pernyataannya.
Kesepakatan Nuklir di Ambang Gagal Total
JCPOA merupakan kesepakatan yang diteken pada 2015 antara Iran dan enam negara besar dunia, yang bertujuan membatasi program nuklir Iran dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi dan politik.
Namun, sejak Amerika Serikat menarik diri secara sepihak dari perjanjian itu pada 2018, kesepakatan tersebut terus berada dalam tekanan.
Iran pun secara bertahap mengurangi kepatuhannya terhadap isi kesepakatan, yang memicu respons dari negara-negara Eropa dan memperburuk hubungan diplomatik.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf