
Pantau - Olimpiade 2024 di Paris telah mencatatkan dirinya sebagai salah satu edisi paling kontroversial dalam sejarah perhelatan olahraga internasional ini.
Sejak awal pelaksanaan, berbagai kontroversi telah mencuat, mulai dari acara pembukaan yang diperdebatkan, kondisi Sungai Seine yang belum sepenuhnya steril, hingga larangan berhijab bagi atlet muslimah.
Komite Olimpiade Internasional (IOC) telah diminta untuk merekomendasikan kepada pihak berwenang di Prancis agar mencabut larangan berhijab. Hal ini berkaitan erat dengan Piagam Olimpiade yang menjunjung tinggi prinsip nondiskriminasi.
Butir 4 dari Prinsip-Prinsip Fundamental Olimpiade menyatakan bahwa setiap individu harus memiliki akses terhadap olahraga tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang diakui secara internasional.
"Setiap individu harus memiliki akses terhadap olahraga, tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun sehubungan dengan hak asasi manusia yang diakui secara internasional dalam kewenangan Olympic Movement," demikian bunyi Fundamental Principles of Olympism, butir 4, dalam Piagam Olimpiade.
Terdapat enam kata 'diskriminasi' dalam Piagam Olimpiade yang merujuk pada hak setiap manusia, termasuk atlet, untuk terlibat secara utuh tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran atau status lainnya (butir 6).
Paris 2024 diharapkan menjadi perayaan spektakuler yang mengedepankan persatuan dan keragaman budaya melalui partisipasi para atlet dari berbagai latar belakang.
Namun, semangat kompetisi ini dibayangi oleh kontroversi sosial yang signifikan, terutama mengenai larangan Prancis terhadap hijab atau jilbab.
Larangan ini telah memicu perdebatan lebih luas tentang ekspresi agama dan budaya, serta dialog global mengenai hak dan kebebasan individu.
Pada September 2023, Menteri Olahraga Prancis, Amelie Oudea-Castera, menyatakan bahwa pemerintah menentang pemakaian simbol agama apa pun selama acara olahraga.
Menurutnya, larangan tersebut dimaksudkan untuk menciptakan netralitas dan menegaskan status Prancis sebagai negara sekuler dan liberal.
"Apa maksudnya? Itu berarti larangan terhadap segala jenis dakwah. Itu berarti netralitas mutlak dalam pelayanan publik. Atlet Prancis tidak diperbolehkan mengenakan penutup kepala," kata Oudea-Castera kepada televisi France 3.
Kontroversi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana Olimpiade, yang seharusnya menjadi ajang perayaan keberagaman dan inklusivitas, dapat mengakomodasi nilai-nilai universal tersebut dalam konteks peraturan dan kebijakan negara tuan rumah.
Semangat Olimpiade yang seharusnya mendorong persahabatan, solidaritas, dan fair play kini diuji oleh kebijakan yang dianggap diskriminatif oleh sebagian kalangan.
- Penulis :
- Aditya Andreas