Pantau Flash
HOME  ⁄  Pantau Pemilu 2024

Sengketa Pilkada 2024 Diprediksi Sepi, Praktisi Hukum Soroti Dampaknya pada Demokrasi

Oleh Ahmad Ryansyah
SHARE   :

Sengketa Pilkada 2024 Diprediksi Sepi, Praktisi Hukum Soroti Dampaknya pada Demokrasi
Foto: Gedung Mahkamah Konstitusi (dok.istimewa)

Pantau - Jumlah gugatan sengketa Pilkada 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) diperkirakan akan lebih sedikit dibandingkan dengan sengketa Pemilu Presiden. Hingga saat ini, hanya 115 gugatan terkait Pilkada yang tercatat di MK, angka yang dinilai rendah mengingat skala Pilkada serentak tahun ini.

Minimnya Gugatan: Fenomena atau Pesimisme?
Heru Widodo, seorang praktisi hukum, menyebut bahwa rendahnya angka pengajuan gugatan bisa disebabkan oleh pesimisme peserta Pilkada. Menurutnya, banyak kandidat merasa sulit bersaing melawan pasangan calon (paslon) yang didukung oleh koalisi besar.

"Banyak yang mundur, mungkin karena mereka sudah merasa tidak ada harapan melawan koalisi yang kuat. Ini memprihatinkan karena bisa mengurangi semangat kompetisi sehat dalam demokrasi," ujar Heru saat berbicara dalam diskusi yang digelar Perludem di Jakarta Selatan, Minggu (8/12/2024).

Baca Juga:
Mahkamah Agung: Tidak Ada Pelanggaran Etik pada Majelis Hakim Kasasi Gregorius Ronald Tannur
 

Harapan kepada Mahkamah Konstitusi
Heru mengingatkan agar MK tetap bersikap progresif dalam menangani perkara, meskipun jumlah gugatan lebih sedikit. Ia menekankan pentingnya MK untuk fokus pada pelanggaran serius, termasuk potensi penyalahgunaan program bantuan sosial (bansos) dalam pemilu.

"Sepinya perkara justru jadi kesempatan bagi MK untuk memberikan putusan yang mendalam dan menjadi pelajaran berharga bagi Pilkada berikutnya. Putusan itu seharusnya tidak hanya bersifat hukuman, tetapi juga menjadi pembelajaran agar proses demokrasi lebih baik di masa depan," jelas Heru.

Ilustrasi David dan Goliat dalam Pilkada
Dalam diskusi yang sama, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengibaratkan kompetisi Pilkada sebagai kisah David melawan Goliat. Ia menggambarkan paslon yang melawan koalisi besar sebagai "David" yang kerap kehilangan optimisme dan logistik.

"Satu-satunya harapan David untuk melawan Goliat adalah Mahkamah Konstitusi. Namun, pesimisme tinggi terlihat karena raksasa (koalisi besar) ini sudah terlalu dominan," kata Bivitri.

Menurutnya, keyakinan bahwa kekuasaan besar sulit dilawan membuat banyak kandidat mundur bahkan sebelum mengajukan gugatan.

Tantangan Demokrasi Substansial
Bivitri menegaskan bahwa meskipun dominasi kekuasaan menjadi tantangan besar, pelanggaran seperti penyalahgunaan bansos tidak boleh dianggap enteng.

"Demokrasi substansial harus dijaga. MK harus menunjukkan bahwa penyalahgunaan kekuasaan tetap bisa dipertanggungjawabkan, meskipun raksasanya besar," tegas Bivitri.

Dengan kondisi ini, para pengamat berharap MK dapat mengambil peran penting dalam menjaga integritas Pilkada dan memberikan keadilan yang merata bagi semua peserta pemilu.

Penulis :
Ahmad Ryansyah