
Pantau.com - Mungkin kisah warga Australia ini bisa menjadi pelajaran buat sobat Pantau, dimana saat ini banyak orangtua kita tak memiliki simpanan untuk masa tua mereka. Bahkan, lebih menyedihkan ketika mereka justru harus kehilangan orang yang menjadi tulang punggung mereka.
Cerita itu datang dari Darcy, bukan nama sebenarnya, berubah ketika ayahnya meninggal karena kanker pankreas enam tahun lalu. Selain kesedihan karena kehilangan sang ayah, mencari tahu tentang situasi keuangan orangtuanya yang mengerikan adalah pukulan lain yang diterima Darcy.
"Tumbuh dewasa, kami tak pernah merasa miskin. Kami tak pernah meminta apapun, kami adalah keluarga yang cukup nyaman," kata pria berusia 32 tahun itu seperti di kutip ABC.
"Tapi begitu ayah meninggal dan kami memiliki pemahaman yang jelas tentang keuangan -situasinya adalah bertahan hidup dari bulan ke bulan," tambahnya.
Orang tua Darcy telah berhasil membeli rumah pada tahun 1980-an, tetapi belum menyisihkan tabungan dan masih ada sebagian besar cicilan rumah yang harus dilunasi.
"Ibu dan ayah memiliki hubungan yang sangat tradisional ayah bekerja dan Ibu menjaga rumah. Ayah mengurus semua yang berkaitan dengan keuangan," ceritanya.
Untuk sebagian besar masa karirnya, ayah Darcy telah menjalankan bisnis sendiri, dan tak menyisihkan banyak untuk masa pensiun mereka.
Baca juga: Kata Ekonom, Cuma 2 Masalah Utama Sektor Keuangan Indonesia
Rencana menolong ibu
Ilustrasi (Foto: Pixabay)
Darcy dan kedua saudara kandungnya membuat rencana keuangan untuk membantu membayar cicilan rumah, termasuk transfer sekitar $ 800 (atau setara Rp8 juta) dari Darcy ke rekening bank ibunya setiap bulan.
Bagian lain dari rencana itu adalah ibu Darcy harus kembali bekerja dan menerima anak kos untuk membantu menutupi cicilan rumah.
Ibu Darcy tidak bekerja selama 30 tahun dan memiliki pengalaman kerja yang sangat sedikit, tetapi ia mendapat pekerjaan paruh waktu.
"Ia bekerja di dapur sekolah tetapi keterampilannya terbatas, ia tak dibayar banyak. Jadi, mempertahankan rumah adalah beban terbesar," ucapnya kembali.
Namun menjual rumah dan pindah ke tempat yang lebih kecil belum menjadi pilihan.
"Ini juga sangat sulit karena ibu saya benar-benar terikat secara emosional dengan rumah ini - jadi ia tidak ingin meninggalkannya," kata Darcy.
Baca juga: Bakal Panen! Angkutan Online Siap Ketiban Berkah Mudik Lebaran 2019
Stres akibat rumah
Ilustrasi (Foto: Pixabay)
Menurut Yayasan Mercy, perempuan lajang paruh baya telah muncul sebagai kelompok orang dengan pertumbuhan tercepat yang mengalami tekanan perumahan dan tunawisma.
Banyak perempuan, seperti ibu Darcy, berhenti bekerja untuk memiliki keluarga, dan perempuan rata-rata pensiun dengan nominal tunjangan setengah dari pria.
"Ini ada hubungannya dengan kesenjangan yang berkaitan dengan gender dan peran yang mungkin dimiliki perempuan pada 1950-an dan 1960-an," kata Dr Maree Petersen dari University of Queensland, yang meneliti orang-orang paruh baya dan kemiskinan.
"Kebijakan dan praktik yang diberlakukan berkaitan dengan pekerjaan, di mana perempuan diharapkan meninggalkan pekerjaan mereka dan memiliki keluarga - masih ada warisan dari itu."
Terlepas dari kesenjangan uang pensiun, bagi mereka yang terus bekerja, seringkali mereka juga dibayar lebih rendah dari rekan-rekan pria mereka.
Perempuan baru menerima upah yang sama untuk pekerjaan dengan nilai yang sama dengan laki-laki pada tahun 1972, tetapi masih ada kesenjangan upah gender, dengan perempuan yang bekerja penuh waktu rata-rata berpenghasilan $ 240 (atau setara Rp2,4 juta) lebih rendah per minggu dibandingkan laki-laki.
Dan bagi kebanyakan orang, pensiun di usia tua saja tidak cukup untuk hidup nyaman di masa pensiun.
"Anda bisa mengatur hidup dari uang pensiun jika anda memiliki rumah sendiri, tetapi tak demikian jika anda membayar cicilan rumah."
"Bukan hal yang aneh bagi saya untuk berbicara dengan orang-orang yang membayar 70 persen dari uang pensiun mereka untuk cicilan rumah," jelasnya.
Baca juga: Catat! Daging Sapi Rp33.000 per Kg Jika Turun 70 Persen, Ayam Mahal
Bicara uang itu bisa sulit
Ilustrasi (Foto: Instagram/Kementerian Keuangan)
Psikolog dan terapis hubungan, Sian Khuman, mengatakan uang adalah salah satu topik tersulit bagi keluarga untuk dibicarakan.
"Terutama ketika orang tua bertambah tua dan ada perubahan dalam dinamika, dengan generasi muda memberi tahu generasi yang lebih tua bagaimana mengelola uang mereka," katanya.
Sementara Darcy tak menganggap membantu ibunya secara finansial sebagai beban, hal itu telah berdampak besar pada pilihan hidupnya sendiri.
"Saya berada pada tahap di mana saya dan pasangan saya berencana membeli rumah kami sendiri, atau kami secara potensial berpikir untuk memulai keluarga kami sendiri dalam tiga hingga empat tahun ke depan," katanya.
rn- Penulis :
- Nani Suherni