
Pantau.com - Garuda Indonesia Group dan Sriwijaya Air Group akhirnya rujuk dengan melanjutkan kerja sama manajemen setelah sempat memutuskan kerja sama karena kisruh yang semakin memanjang.
Direktur Citilink Indonesia Juliandra Nurtjahjo menjelaskan keputusan itu diambil setelah melalui pertemuan yang juga difasilitasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara.
Juliandra mengatakan pihaknya mempertimbangkan tiga hal, yakni mengedepankan keselamatan, mempertimbangkan kepentingan pelanggan, dan menyelamatkam aset negara. “Dengan adanya kesepakatan dan komitmen ini menjadi momentum dan ‘turning point’ untjk senantiasa menciptakan ekosistem penerbangan yang Indonesia yang lebih sehat,” dalam konferensi pers di Tangerang, Selasa (1/10/2019).
Baca juga: Setengah Pesawat Sriwijaya Air Group Dinyatakan Tak Laik Terbang
Dalam kesempatan sama, Pelaksana Tugas Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson I Jauwena menyambut baik upaya melanjutkan kerja sama manajemen tersebut untuk memperbaiki pelayanan dan melanjutkan komitmen dengan GMF AeroAsia terkait perawatan pesawat.
“Kita memulai lagi pelayanan dengan keselamatan penerbangan yang bisa kita capai,” katanya.
Sebelumnya, Garuda Indonesia Group menggandeng Sriwijaya Air dalam kerja sama operasi. Namun seiring waktu kerja sama tersebut semakin tidak sehat, mulai dari perombakan dewan direksi, pemecatan direktur utama hingga pencopotan logo Garuda di tubuh pesawat Sriwijaya.
Kerjasama di antara keduanya sempat terputus.
Selain itu, beredar pula rekomendasi penghentian sementara operasional Sriwijaya Air Group dari Direktur Quality, Safety, dan Security Sriwijaya Air Toto Subandoro kepada Plt Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson I. Jauwena.
Dalam surat nomor Nomor: 096/DV/1NT/SJY/1X/2019 tertanggal 29 September 2019, Toto menjelaskan, rekomendasi itu diputuskan usai Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan yang melakukan pengawasan terhadap keselamatan penerbangan Sriwijaya menemukan adanya ketidaksesuaian pada laporan yang disampaikan perusahaan 24 September 2019 pada DKPPU.
Temuan tersebut adalah bahwa ketersediaan tools, equipment, minimum spare dan jumlah qualified engineer yang ada di perusahaan ternyata tidak sesuai dengan laporan yang tertulis dalam kesepakatan yang dilaporkan kepada Dirjen Perhubungan Udara dan Menteri Perhubungan.
Termasuk bukti bahwa Sriwijaya Air belum berhasil melakukan kerja sama dengan JAS Engineering atau MRO lain terkait dukungan Line Maintenance.
Baca juga: Efisiensi Garuda Indonesia, Fasilitas Awak Kabin ke Australia Dikurangi
Hal ini berarti Risk Index masih berada dalam zona merah 4A (Tidak dapat diterima dalam situasi yang ada), yang dapat dianggap bahwa Sriwijaya Air kurang serius terhadap kesempatan yang telah diberikan pemerintah untuk melakukan perbaikan.
Tidak diresponsnya surat tersebut pula lah yang menyebabkan dua direksi Sriwijaya Air mengundurkan diri, yakni Direktur Operasi Captain Fadjar Semiarto dan Direktur Teknik Romdani Ardali Adang.
Menurut Fadjar, status merah tersebut berpotensi membahayakan keselamatan penerbangan, baik dari sisi teknik, operasional maupun finansial.
Ia melihat kisruh tersebut juga karena adanya dualisme kepemimpinan yang mempengaruhi pengambilan kebijakan perusahaan dan kesulitan dalam berkoordinasi, yakni Direktur Utama menurut akta perusahaan adalah Robert Waloni, sementara Direktur Utama untuk urusan kontigensi adalah Jefferson I. Jauwena.
- Penulis :
- Lilis Varwati