Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

LIPI Sebut KEK Pariwisata 'Melempem', Kenapa?

Oleh Nani Suherni
SHARE   :

LIPI Sebut KEK Pariwisata 'Melempem', Kenapa?

Pantau.com - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat jumlah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di dunia diperkirakan sudah lebih dari 4.800 kawasan. Strategi untuk membentuk KEK tidak terlepas dari keinginan untuk menarik investasi, membuka kesempatan kerja, mendorong ekspor, transfer teknologi dan inovasi.

Saat ini di Indonesia sudah ditetapkan 12 KEK. 6 diantaranya merupakan KEK Pariwisata yakni Mandalika, Tanjung Kelayang, Sei Mandiri, Tanjung Lesung, Arun, Morotai. Namun demikian Peneliti LIPI Maxensius Tri Sambodo menilai KEK dinilai gagal berkembang. 

Ia mengungkapkan beberapa penyebabnya karena pendirian KEK lebih didominasi oleh tujuan politis, perusahaan yang masuk tidak memiliki keunggulan kompetitif dan lemahnya keterkaitan dengan ekonomi secara keseluruhan. Hal tersebut diungkapkannya melalui studi yang dilakukan di KEK Mandalika.

"KEK masih dianggap sebagai program pemerintah pusat, sehingga belum nampak kuat respon dari pemerintah daerah," ujarnya saat jumpa pers di kantornya, Widya Graha, Jl. Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (28/8/2018).

Baca juga: Kembangkan Mobil Tanpa Sopir, Produsen Mobil Ini Investasi $500 Juta ke Uber

Ditambah lagi menurutnya, pembangunan KEK belum melibatkan peran dan partisipasi dinas-dinas yang terkait langsung. Beberapa dinas terkait belum duduk bersama dengan Administratur KEK.

"Misal Bappeda, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas PU (Pekerjaan Umun), Dinas Pariwisata  merasa tidak dilibatkan, kan KEK yang gagal itu yang tidak membangun koordinasi diantara masing seolah bermain sendiri," ungkapnya.

Selain itu, menurutnya aparat yang cenderung mengkontestasikan antara wilayah KEK dan di luar KEK. Max menilai hal ini menjadi bukti tidak adanya koordinasi yang baik antara orang-orang yang berperan didalamnya. Padahal menurutnya, KEK yang berhasil dilakukan dengan koordinasi yang baik antara pelakunya.

"Harusnya bisa dikompromikan, hal ini terjadi karena ada koordinating problem diantara para aktor. KEK gagal adalah yang mengalami koordinasi di dalamnya," ungkapnya.

Lebih lanjut berdasarkan penelitiannya belum adanya ketegasan dalam penyelesaian kasus-kasus percaloan tanah.

"Masih adanya spekulan tanah yang terjadi," ungkapnya.

Terkait hal tersebut, menurutnya ada yang terlupakan dalam tujuan pembangunan KEK. Ia menilai seharusnya Kawasan Ekonomi Khusus didesain seperti laboratorium dimana kebijakan-kebijakan baru bisa diujicobakan di kawasan tersebut, bila berjalan efektif maka bisa diterapkan secara keseluruhan.

Baca juga: Sempat OFF, Sumur Wampu D2 Kembali Dihidupkan Pertamina EP

"Sebetulnya kawasan ekonomi khusus didesain seperti laboratorium, insentif efektif enggak sebelum nasional dilakukan di zona khusus dulu kalau berhasil diterapkan di yang lain Sehingga kalau berhasil direplikasi," katanya. 

Hal inilah yang menjadi tantangan sebab KEK di Indonesia dianggap belum ada yang berjalan dengan betul-betul optimal namun sudah dibangun di banyak titik belum memiliki branchmark. 

"Kondisinya di Indonesia disini belum berhasil dibikin disini, disini lagi jalan, disana dibangun kita enggak punya branchmark. Di negara lain kalau sudah berhasil baru dipakai di (KEK/wilayah) yang lain, eksperimen ini kita kurang, kita lebih banyak number-nya dibandingkan kualitas KEK itu sendiri," pungkasnya.

Penulis :
Nani Suherni

Terpopuler