Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Profesor Unsri Prihatin dan ‘Spill’ Biang Kerok Harga Beras Meroket

Oleh Ahmad Munjin
SHARE   :

Profesor Unsri Prihatin dan ‘Spill’ Biang Kerok Harga Beras Meroket
Foto: Tangkapan layar - Profesor Ahmad Muslim, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri). (Pantau/Ahmad Munjin)

Pantau – Meroketnya harga harga beras belakangan ini menjadi keprihatinan semua pihak. Guru besar Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri) mengungkapkan biang keroknya.

Profesor Ahmad Muslim, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya (Unsri) mengaku prihatin dengan meroketnya harga beras. Padahal, Indonesia mempunyai potensi lahan yang sangat luas. 

“Kita punya potensi lahan kering seluas 144 juta hektar, belum lagi dengan lahan rawa 13 juta hektar,” katanya dalam Forum Merdeka Barat 9 ‘Persiapan Ramadan, Kondisi Harga Bahan Pokok’ dipantau secara daring di Jakarta, Senin (4/3/2024).

Belum lagi, kata dia, dengan tenaga kerja petani juga murah. Indonesia juga merupakan negara tropis yang bisa menanam 2-3 kali padi dalam setahun. “Ditambah lagi dengan teknologi untuk penanaman padi yang sudah sangat established (mapan) dari hulu hingga ke hilir. Semuanya bisa diakses,” timpal Ahmad.

Kondisi serupa dengan bibit. “Banyak sekali bibit unggul yang sudah ditemukan oleh perguruan tinggi, di industri sendiri sudah ditemukan bibit yang tahan terhadap hama. Begitu juga dengan bibit-bibit unggul lainnya yang sudah ada,” papar dia.

Semua kondisi itu, tidak seharusnya membuat harga beras meroket. 

Faktanya, pada Jumat (1/3/2024), harga rata-rata nasional beras medium, menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), mencapai Rp15.950 per kg. Angka itu jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) beras medium yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp10.900 per kg hingga Rp11.800 per kg sesuai zonasi.

Prof Ahmad pun mengungkapkan problem besarnya. Pertama, produksi beras di Indonesia sangat rendah sehingga tidak mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. 

“Produksi kita 30,90 juta hektar, sementara konsumsinya 35 juta hektar,” ungkap dia.

Begitu juga dengan (kedua) luas lahan yang terhitung sangat rendah sehingga belum cukup untuk memproduksi yang memenuhi kebutuhan konsumsi. “Bayangkan luas panen untuk padi, cuma 10,2 juta hektar,” timpal dia.

 Idealnya, sambung Ahmad, untuk memenuhi konsumsi masyarakat, luas lahan padi mencapai 500 meter persegi per kapita. 

“Jika menghitung populasi 281 juta, dikali 500 meter persegi, butuh 140 juta meter persegi. Artinya, kita butuh 14 juta hektar, baru kita memenuhi swasembada pangan,” tuturnya.

Dia pun menekankan pentingnya strategi sistematis jangka pendek dan jangka panjang. “Kalau untuk jangka pendek ini, mau tidak mau suatu keniscayaan harus impor,” ucapnya.

Sementara jangka panjang, dengan potensi lahan, tenaga kerja, dan teknologi yang sudah ada, swasembada harus diwujudkan. 

“Butuh political will dari pemerintah. Sustainability dari political will pemerintah ini kadang-kadang kurang,” ungkap Ahmad.

Ia mencontohkan political will terkait anggaran di mana hanya tahun 2015 anggaran untuk Kementerian Pertanian (Kementan) mencapai angka tertingginya Rp30,7 triliun. “Itu terus turun di 2022 hingga 27 persen, sebesar 14,25 triliun. Tidak termasuk 10 kementerian dengan anggaran besar. Ini berbeda dengan Orde di mana anggaran yang berhubungan dengan beras sangat masif,” tuturnya.  

Sebelumnya, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menyebut bahwa harga beras di pasaran mulai turun menjadi Rp14.000 per kilogram (kg) setelah harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani atau di sisi hulu juga turun.

“Jadi hari ini dengan harga gabah Rp7.040 per kg, maka otomatis beras itu akan terkoreksi sekitar Rp2.000. Jadi, harganya sekitar Rp14.000 per kg,” kata Arif dalam Rapat Koordinasi Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Puasa dan Idul Fitri 1445 Hijriah di Jakarta, Senin (4/3/2024).

Penulis :
Ahmad Munjin
Editor :
Muhammad Rodhi