
Pantau-Pertamina Group menyiapkan ekosistem bioetanol untuk mendukung transisi energi dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mempercepat penggunaan energi terbarukan di Indonesia.
"Pengembangan bioetanol berpotensi menciptakan dampak positif yang luar biasa, mulai dari hulu ke hilir," kata Direktur Manajemen Risiko Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) Iin Febrian dalam keterangan di Jakarta, Selasa (1/10/2024).
Iin mengatakan, Pertamina NRE dipercaya oleh induk usahanya PT Pertamina (Persero) untuk mengembangkan bisnis bioetanol untuk bahan baku Pertamax Green. Selain itu, Pertamina NRE telah memiliki strategi jangan pendek, menengah hingga panjang.
Baca juga: UMKM Pertamina Banjir Kesepakatan Transaksi Rp2 Miliar Lebih via Pameran di Mancanegara
Strategi yang disiapkan untuk pengembangan bioetanol dimulai dari tahun 2024 hingga tahun 2035 mendatang. “Sebagai bagian dari strategi jangka pendek, kami telah menandatangani perjanjian dengan PT Sinergi Gula Nusantara untuk membangun pabrik bioetanol baru dengan bahan baku molase di Glenmore, Banyuwangi, dengan kapasitas 30 ribu kiloliter per tahun,” tambah Iin.
Diketahui, kebutuhan nasional etanol 5 persen (E5) saat ini mencapai 1,9 juta kiloliter per tahun sedangkan kapasitas produksi etanol nasional saat ini mencapai sekitar 180 ribu kiloliter per tahun. Kebutuhan bioetanol akan berlipat ganda apabila diterapkan E10.
Dalam jangka pendek sampai dengan panjang, Pertamina NRE masih akan menargetkan pembangunan pabrik bioetanol baru dengan harapan akan memperkecil jarak antara suplai dan kebutuhan nasional.
Pertamina saat ini tengah melakukan studi untuk mengembangkan beberapa bahan baku bioetanol selain dari tebu, antara lain sorgum (sorghum), nipah (nypa fruticans) dan tandan kosong kelapa sawit (empty fruit bunch).
Dengan mendiversifikasi jenis bahan baku, maka diharapkan tidak akan mengganggu kebutuhan tebu nasional untuk pangan. Pertamina NRE berkomitmen untuk mengembangkan energi bersih guna mencapai aspirasi pemerintah net zero emission selambat-lambatnya tahun 2060.
Menurutnya, sektor transportasi salah satu sektor penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia. Untuk itu penggunaan bahan bakar minyak ramah lingkungan menjadi salah satu solusi terbaik untuk menurunkan emisi. "Indonesia telah sukses dengan B35, campuran bahan bakar nabati (BBN) berbasis kelapa sawit, yaitu fatty acid methyl esters (FAME) dengan kadar 35 persen," ujarnya,
Iin mengatakan, pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati mendorong pengembangan pemanfaatan bioetanol sebagai campuran untuk bahan bakar berjenis gasoline.
Sebelumnya, pada tahun 2023 PT Pertamina Niaga telah meluncurkan Pertamax Green 95 bahan bakar pertamax dengan campuran bioetamol sebesar 5 persen. Menurut Iin, pengembangan bioetanol sebagai BBN berpotensi menciptakan nilai yang besar.
“Dari mulai mengembangkan bahan baku seperti tebu, jagung, sorgum, dan jenis tanaman lainnya sampai dengan pendistribusiannya ke Masyarakat, pengembangan bioetanol bisa menciptakan nilai yang besar, salah satunya adalah membuka lapangan kerja lebih luas,” ujar Iin.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan Indonesia memiliki potensi yang besar untuk pengembangan bioetanol sehingga bisa menjadi salah satu solusi energi terbarukan. "Bioetanol diproduksi dari bahan-bahan organik yang menawarkan potensi besar untuk masa depan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan," ujar Fadjar.
Sebagai perusahaan pemimpin di bidang transisi energi, Pertamina berkomitmen dalam mendukung target Net Zero Emission 2060 dengan terus mendorong program-program yang berdampak langsung pada capaian Sustainable Development Goals (SDGs). "Seluruh upaya tersebut sejalan dengan penerapan Environmental, Social and Governance (ESG) di seluruh lini bisnis dan operasi Pertamina," kata Fadjar. (Tubagus Rachmat).
- Penulis :
- Wira Kusuma
- Editor :
- Ahmad Munjin