
Pantau - Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengungkapkan, salah satu kendala pengembangan usaha mikro kecil dan menengah alias UMKM saat ini adalah keterbatasan modal dan sulitnya mengakses pembiayaan.
Rasio pembiayaan lembaga keuangan formal seperti perbankan untuk UMKM saat ini, kata dia, bahkan hanya 19 persen dari target 30 persen pada 2024. Rendahnya realisasi pembiayaan kepada UMKM ini salah satunya disebabkan perbankan yang menerapkan kewajiban kolateral atau jaminan saat mengajukan pinjaman.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan rasio pembiayaan perbankan kepada UMKM paling rendah. Bandingkan dengan Korea Selatan yang rasio kreditnya lebih dari 80 persen, bahkan Malaysia dan Thailand sudah lebih dari 40 persen.
Demikian ungkap menteri Teten dalam rilis pers yang diterima di Jakarta, Rabu (16/10/2024).
Baca juga: Komit pada Produk Lokal, Penjualan UMKM di Gerai Alfamidi Naik 65 Persen
Ia pun memaparkan beberapa strategi alternatif pembiayaan bagi koperasi dan UMKM yang dituangkan dalam buku seri keempat dari 7 Buku Seri Pengarusutamaan Strategi Pengembangan Koperasi dan UKM yang diterbitkan pada 2024.
Buku seri keempat tersebut berjudul Transformasi Pembiayaan UMKM: Daya Ungkit Menuju Kemapanan, yang menjelaskan tentang inovasi pembiayaan bagi UMKM.
Dalam buku ini diulas beberapa alternatif pembiayaan seperti credit scoring pada pembiayaan KUR, pembiayaan klaster berbasis farmers production organisation/FPO, securities crowdfunding, initial public offering/IPO, peer to peer lending, purchase order financing, intellectual property financing, skema penilaian kredit berbasis intelligent credit decision model, serta inisiasi ASEAN Micro and Small Enterprises Financing Institution (AMSEF).
Teten mendorong agar perbankan mulai melakukan perubahan dalam skema pembiayaan bagi UMKM khususnya dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Baca juga: Kominfo Blokir Aplikasi TEMU, Dirjen IKP: Negara Harus Hadir Melindungi UMKM
Dia berharap perbankan dapat menggunakan data sekunder seperti data telekomunikasi atau PLN terhadap calon nasabahnya sehingga tidak diperlukan lagi kolateral. Hal ini dibutuhkan untuk mengakselerasi pembiayaan bagi UMKM sesuai dengan target yang ditetapkan.
"Bank juga selalu menggunakan data history kredit, data SLIK (sistem layanan informasi keuangan), lalu bagaimana UMKM yang belum terhubung ke bank pasti tidak ada riwayat kreditnya. Maka kami usulkan skema pembiayaan dengan sistem credit scoring. Kalau yang usaha besar kami fasilitasi mencari pembiayaan di bursa efek melalui IPO," kata dia.
Sementara itu Asisten Deputi Pembiayaan dan Investasi Kemenkop UKM Ali Manshur menjelaskan opsi pembiayaan lain yang bisa diakses oleh UMKM yaitu peer to peer lending (PtoP lending) atau dari Securities Crowd Funding (SCF).
Berdasarkan catatan dari Kemenkop UKM, sampai Juni 2024 total outstanding pinjaman yang telah dikucurkan dari PtoP lending mencapai Rp20,72 triliun dengan jumlah debitur 3,51 juta.
"Saat ini ada 100 perusahaan penyelenggara PtoP lending dan penyelenggara SCF ada 17 perusahaan. Untuk SCF total pendanaan sudah mencapai Rp1,15 triliun dengan jumlah pemodal sebanyak 159.957 unit," kata Ali.
Ali juga menambahkan, Kemenkop UKM terus memperluas penyaluran KUR klaster yang plafonnya cukup besar yaitu mencapai Rp500 juta. Di sisi lain, pihaknya juga sedang mengusulkan agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera membuat peraturan supaya perbankan tak hanya menggunakan pendekatan konvensional kolateral terutama pembiayaan bagi sektor UKM.
Baca juga: Bea Cukai Ajak UMKM Kebumen dan Demak Ekspor Produknya ke Pasar Mancanegara
- Penulis :
- Ahmad Munjin