
Pantau - Head of Research Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, menilai ekonomi domestik Indonesia tidak terlalu rentan terhadap tekanan perdagangan global dan justru berpotensi pulih cepat seiring masuknya kembali likuiditas global ke pasar dalam negeri.
Menurut Satria, pemulihan pasar berpotensi berbentuk kurva V, meski tekanan jangka pendek bisa memicu pemutus arus (circuit breaker) saat perdagangan saham dibuka kembali usai libur panjang Idulfitri.
"Namun, ada kemungkinan pembeli institusional asing dan lokal akan muncul, dengan tingkat cash yang sudah tinggi karena penjualan ekuitas telah meningkat sebelum liburan panjang Idulfitri," ujarnya.
Rendahnya Ketergantungan Perdagangan Jadi Keunggulan, Rupiah Melemah Jadi Penyeimbang
Salah satu alasan utama kekuatan ekonomi Indonesia adalah eksposur yang rendah terhadap ekspor ke Amerika Serikat, yakni hanya 2 persen dari PDB, dibandingkan Thailand (11 persen) dan Malaysia (10 persen).
Meskipun beberapa produk Indonesia dikenai tarif 32 persen oleh AS, angka ini masih lebih rendah dibandingkan negara pesaing seperti Bangladesh, Kamboja, Tiongkok, Sri Lanka, dan Vietnam yang tarifnya mencapai 37–49 persen.
Satria menyebut Indonesia saat ini berada dalam "zona Goldilocks", dengan kombinasi harga minyak yang menurun, latar belakang makro domestik yang solid, serta peluang penurunan suku bunga global.
Dalam tiga hari terakhir, pasar saham negara yang sangat tergantung pada ekspor seperti Hong Kong, Jepang, Singapura, dan Taiwan mencatatkan pelemahan terdalam.
Sebaliknya, negara emerging markets seperti India dan Malaysia mencatat penurunan indeks saham kurang dari 8 persen.
Rupiah sendiri berada di level Rp17.000 per dolar AS setelah terdepresiasi 11 persen dalam enam bulan terakhir.
Namun, depresiasi ini justru dipandang sebagai bentuk lindung nilai alami terhadap tarif AS karena terjadi di tengah pelemahan indeks dolar (DXY), yang berarti daya saing ekspor Indonesia bisa meningkat.
" Kami pikir mata uang yang dinilai rendah dapat meningkatkan daya saing ekspor manufaktur Indonesia ke AS dan daya tarik ekuitas dan obligasi di kalangan investor asing," ujar Satria.
Tarif AS Dinilai Berdampak Kecil Terhadap Korporasi RI, Potensi Rebound Besar
Tarif impor baru dari Amerika Serikat diperkirakan hanya berdampak minimal terhadap proyeksi laba perusahaan Indonesia karena estimasi laba 2025 sudah disesuaikan dengan kondisi global yang penuh ketidakpastian.
Faktor-faktor pendukung lainnya termasuk depresiasi rupiah sebesar 5 persen dalam sebulan terakhir dan penurunan harga minyak sebesar 15 persen, yang menekan biaya operasional perusahaan domestik.
Riset Bahana menyebut margin perusahaan justru bisa terdongkrak di tengah tekanan global.
Penurunan tajam ETF ekuitas Indonesia sebesar 10 persen saat pasar lokal tutup juga membuka peluang pembelian oleh investor saat pasar dibuka kembali.
Optimisme disampaikan Satria terkait sikap Presiden Donald Trump dalam kebijakan perdagangannya.
"Pandangan kami adalah kapitulasi Presiden Donald Trump akan terjadi lebih cepat daripada yang diperkirakan; sedikit saja tanda-tandanya akan memicu pemulihan pasar yang akan lebih dahsyat daripada tahun 2020," pungkasnya.
- Penulis :
- Pantau Community