
Pantau - Donald Trump menggambarkan kebijakan tarif impornya sebagai "obat yang pahit tapi menyembuhkan" demi mewujudkan slogan populisnya: Make America Great Again.
Namun, muncul pertanyaan besar: benarkah kebijakan ini menyembuhkan ekonomi Amerika, atau justru menjadi beban baru yang ditanggung rakyat sendiri?
Bagi Indonesia, pertanyaannya lebih jauh lagi—apakah kita akan ikut terkena dampaknya, seperti potensi kebangkrutan banyak perusahaan hingga gelombang PHK massal?
Dari dinamika perang dagang dan kebijakan tarif ala Trump, setidaknya ada tiga pelajaran penting yang bisa Indonesia ambil.
1. Bangun dari Comfort Zone
Salah satu kesalahan besar adalah terlalu lama berada di zona nyaman, baik sebagai individu maupun bangsa.
Penulis mengangkat pengalaman pribadi: sang anak kecil mengira uang bisa diambil begitu saja dari ATM, tanpa tahu usaha di baliknya.
Orang tua perlu berhenti memanjakan anak secara berlebihan agar mereka memahami pentingnya kerja keras.
Begitu pula dengan negara—kita tidak bisa terus bersantai dan menunda-nunda dengan alasan "Belanda masih jauh", karena ancaman nyata seperti kebijakan ekonomi Trump dan dominasi China sudah ada di depan mata.
2. Urusi PR Kita Sendiri
Daripada sibuk menyalahkan luar negeri, lebih baik fokus pada pekerjaan rumah di dalam negeri.
Demokrasi kita masih belum dewasa, terbukti dari respons yang cenderung meremehkan terhadap teror simbolik seperti kiriman kepala babi atau bangkai tikus ke kantor media.
Penegakan hukum juga dinilai belum adil dan cenderung dikendalikan uang.
Kritikus yang dulu vokal kini berubah pasif setelah berada di dalam kekuasaan.
Sikap masyarakat pun sering munafik—mencela asing, tapi mengidolakan tokoh dan produk luar negeri.
Ucapan kasar seperti “siapa pun, termasuk anjing, bisa dianggap ibu asal bisa menyusu” menggambarkan kondisi sosial yang rela menerima siapa saja selama menguntungkan secara ekonomi.
3. Bangun Rasa Percaya Diri dengan Perbaikan Berkelanjutan
Indonesia perlu menanamkan semangat perbaikan berkelanjutan, seperti filosofi Jepang kaizen, yang berarti perubahan untuk kebaikan.
Uni Emirat Arab (UEA) menjadi contoh nyata bagaimana negara bisa keluar dari ketergantungan minyak dengan membangun sektor pariwisata dan infrastruktur tanpa korupsi.
Kepercayaan masyarakat terhadap orang asing, yang tercermin dari kepemimpinan Sheikh Mohamed bin Zayed Al Nahyan, menjadi fondasi penting bagi tumbuhnya lingkungan bisnis yang sehat dan ramah.
Kutipan Sheikh Mohamed tentang kedaulatan, kerja sama damai, dan penghargaan terhadap warga asing memperlihatkan bagaimana kepemimpinan yang berpikiran terbuka bisa membawa negara menuju kemajuan.
Pada akhirnya, artikel ini ditutup dengan satu pertanyaan reflektif yang ditujukan untuk kita semua: Kapan Indonesia menyusul?
- Penulis :
- Pantau Community