
Pantau - Gelombang demokrasi pasca-Orde Baru terus berlangsung hingga kini dan berbagai teori serta praktik politik masih membahas sistem demokrasi yang paling tepat bagi Indonesia.
Biaya Pemilu Membengkak dan Korban Jiwa Meningkat
Pemilu awalnya digelar secara langsung namun terpisah antara legislatif dan eksekutif sebelum kemudian diserentakkan dengan tujuan efisiensi melalui penghematan logistik serta honor penyelenggara.
Faktanya biaya pemilu terus meningkat dari Rp45,3 triliun pada 2019 menjadi Rp76 triliun pada 2024 karena sejumlah variabel seperti honor KPPS yang naik lebih dari dua kali lipat.
Pemilu serentak juga menimbulkan korban jiwa dengan laporan awal KPU pada 2019 mencatat 440 petugas meninggal dunia sementara perkiraan mencapai 894 orang dan pada 2024 terdapat antara 87 hingga 115 petugas meninggal dunia terutama akibat kelelahan, hipertensi, dan penyakit jantung.
Anggota Komisi II DPR RI Wahyudin Noor Aly menyatakan pemilu merupakan alat demokrasi untuk memilih pemimpin sehingga kualitas demokrasi tercermin dari figur yang terpilih karena kebijakan negara bersumber dari pemenang pemilu.
Dalam diskusi yang digelar Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Jawa Tengah di Brebes, Wahyudin, Basmar Perianto Amron dan Prof Zakiyuddin Baidhawy membahas berbagai persoalan pemilu dan kualitas demokrasi di Indonesia.
Gagasan Perbaikan Sistem Demokrasi dan Penguatan Penyelenggara Pemilu
Wahyudin menyoroti mahalnya ongkos politik yang membuat pemilih kian pragmatis hingga muncul ungkapan wani piro untuk setiap suara.
Anggota KPU Provinsi Jawa Tengah Basmar Perianto Amron mengingatkan pentingnya proses pemilu karena hasilnya menentukan pembuat keputusan politik yang harus memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga peserta pemilu perlu memiliki kualitas.
Prof Zakiyuddin menilai diperlukan perbaikan sistem demokrasi agar hasil politik lebih berkualitas karena politik merupakan seni mengelola kehidupan bersama melalui eksekutif, legislatif, dan yudikatif sehingga ketidakmampuan figur akan berdampak langsung kepada rakyat.
Wahyudin menegaskan bahwa politik bukan hal tabu dan perlu diperkenalkan sejak dini misalnya kepada pelajar SMP agar memahami cara memilih figur berdasarkan kualitas.
Ia mengusulkan agar pemilihan kepala daerah tidak lagi dilakukan secara langsung untuk menghindari mahalnya biaya politik baik yang tercatat maupun tidak tercatat dengan mekanisme pemilihan melalui legislatif seperti era Orde Baru.
Prof Zakiyuddin mengusulkan pembatasan masa jabatan legislatif maksimal dua periode seperti eksekutif dan penerapannya secara berjenjang dari kabupaten atau kota sebelum naik ke tingkat berikutnya sehingga tidak ada anggota legislatif bertahan lebih dari dua periode di level yang sama.
Basmar menekankan perlunya penguatan lembaga penyelenggara pemilu termasuk pemanfaatan teknologi informasi agar hasil pemilu dapat dilihat dengan cepat dan mudah dipertanggungjawabkan.
Pemilu dinilai harus terus dibahas agar pelaksanaannya semakin baik karena merupakan pintu gerbang pemerintahan baru yang akan mengelola negara selama lima tahun ke depan.
Lembaga penyelenggara pemilu disebut sebagai titik penting untuk memastikan demokrasi berjalan berkualitas sehingga penguatan lembaga ini menjadi kebutuhan agar pemilu berlangsung jujur dan adil serta menghasilkan pemerintahan yang juga jujur dan adil.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf
- Editor :
- Tria Dianti







