
Pantau - Arah kebijakan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI-Rate) menjadi sorotan menjelang Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang digelar hari Rabu ini, dengan para ekonom terbelah antara mempertahankan suku bunga di level 4,75 persen atau menurunkannya menjadi 4,50 persen.
Alasan Bertahan di 4,75 Persen: Tekanan Rupiah dan Modal Asing Keluar
Kepala Ekonom BCA, David Sumual, memproyeksikan bahwa BI akan menahan BI-Rate pada Oktober 2025.
Ia menyebut bahwa strategi front loading telah dilakukan sebelumnya, sebelum The Fed mulai memangkas suku bunganya.
"Outflow juga cukup besar terjadi di instrumen SRBI dan SUN dalam sebulan terakhir," ungkapnya.
Menurut David, tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan kondisi pasar keuangan global yang belum stabil menjadi alasan utama BI kemungkinan menahan suku bunga saat ini.
Tekanan terhadap rupiah meningkat signifikan, dengan nilai tukar menyentuh Rp16.577 per dolar AS pada 17 Oktober 2025, melemah 3,05 persen secara year to date.
Dalam periode 17 September hingga 17 Oktober 2025, investor asing mencatat aksi jual bersih surat utang pemerintah sebesar 1,88 miliar dolar AS.
BI pun merespons dengan kebijakan stabilisasi, yang berdampak pada penurunan cadangan devisa menjadi 148,7 miliar dolar AS.
Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky, juga menilai bahwa menjaga BI-Rate di 4,75 persen dapat memperkuat persepsi independensi Bank Indonesia serta meredam tekanan terhadap rupiah.
Ia menambahkan bahwa meskipun The Fed mulai melonggarkan kebijakan, modal asing tidak otomatis kembali masuk ke pasar negara berkembang seperti sebelumnya.
Menurutnya, faktor domestik justru lebih dominan dalam mendorong arus keluar modal saat ini.
Argumen Penurunan ke 4,50 Persen: Inflasi Terkendali, Konsumsi Lemah
Sebaliknya, Kepala Ekonom Permata Bank, Josua Pardede, melihat peluang bagi BI untuk menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 4,50 persen.
Ia beralasan bahwa inflasi inti tetap rendah dan suku bunga riil saat ini masih cukup tinggi.
Permintaan domestik yang belum pulih sepenuhnya, tercermin dari menurunnya keyakinan konsumen, menjadi alasan perlunya dorongan kebijakan moneter.
Josua menyebut bahwa penurunan suku bunga dapat membantu meningkatkan konsumsi dan mempercepat pertumbuhan kredit.
Likuiditas perbankan yang membaik juga memungkinkan transmisi kebijakan moneter berjalan lebih efektif hingga ke sektor riil.
Tekanan terhadap rupiah dinilai relatif terkendali, berkat intervensi Bank Indonesia di pasar spot dan DNDF, surplus neraca perdagangan, serta efek revaluasi cadangan devisa.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Kepala Departemen Makroekonomi Indef, M. Rizal Taufikurahman.
Menurutnya, inflasi yang masih terjaga membuat pemangkasan suku bunga tidak akan mengejutkan pasar karena ekspektasi telah terbentuk.
Dengan adanya stimulus fiskal tambahan di kuartal IV, pelonggaran moneter ringan dinilai akan memperkuat permintaan agregat dan pemulihan fungsi intermediasi perbankan.
Saat ini, pertumbuhan kredit perbankan masih berkisar antara 7–8 persen year on year.
"Dengan demikian, BI idealnya memangkas suku bunga 25 bps ke 4,50 persen, karena ruang inflasi aman dan transmisi kredit butuh dorongan. Risiko outflow tetap ada, tapi manageable bila diimbangi dengan intervensi valas yang terukur. Namun bila rupiah kembali tertekan, pause sejenak juga bukan langkah keliru karena kredibilitas stabilitas tetap prioritas utama," ungkap Rizal.
- Penulis :
- Aditya Yohan