
Pantau - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menegaskan bahwa persaingan usaha yang adil, sehat, dan menyeluruh merupakan prasyarat penting bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas di Indonesia.
Perlindungan Persaingan Bukan Perlindungan Pelaku Usaha
Pernyataan ini disampaikan oleh Komisioner KPPU, Moh. Noor Rofieq, dalam diskusi bertajuk Mitigasi Risiko Pelanggaran Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang digelar di Jakarta.
Ia menjelaskan bahwa KPPU memiliki peran strategis dalam menjaga iklim usaha yang sehat di Tanah Air.
Menurutnya, filosofi utama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah melindungi proses persaingan, bukan melindungi pelaku usaha atau pesaing.
KPPU menilai bahwa pelaku usaha harus membangun bisnis secara wajar tanpa melakukan praktik-praktik yang menyalahi prinsip persaingan.
Dalam menilai dugaan pelanggaran, KPPU tidak hanya berpegang pada aspek hukum, tetapi juga mempertimbangkan konteks bisnis secara menyeluruh.
Sebagai contoh, harga yang terlihat seragam di pasar tidak otomatis dianggap melanggar hukum, sebab bisa saja itu merupakan hasil dari keterbukaan informasi harga di antara pelaku usaha.
Pendekatan KPPU menitikberatkan pada konteks praktis dunia usaha, bukan semata legal formal.
Tiga Aspek Rawan Pelanggaran dan Fokus KPPU pada Industri Oligopoli
KPPU mengidentifikasi tiga aspek utama bisnis yang rawan terhadap pelanggaran persaingan, yaitu produksi, pemasaran dan harga, serta distribusi.
Dalam aspek produksi, pelanggaran dapat terjadi jika pelaku usaha sengaja membatasi volume produksi bukan untuk efisiensi, tetapi untuk menguasai pasar atau sumber daya tertentu.
Pada aspek pemasaran dan harga, KPPU tidak serta-merta menganggap harga tinggi sebagai pelanggaran.
Penilaian tetap mempertimbangkan indikator seperti Internal Rate of Return (IRR), Return on Investment (ROI), serta karakteristik biaya dalam industri padat modal.
Namun, praktik perpajakan yang menyimpang dan menyebabkan biaya produksi menjadi tidak wajar dapat menjadi sinyal adanya pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Dalam aspek distribusi, pelaku usaha diminta waspada saat melakukan pergantian distributor agar tidak menimbulkan diskriminasi atau dugaan upaya menyingkirkan pihak tertentu.
Contoh diskriminasi adalah perbedaan tempo pembayaran yang tidak adil antar mitra usaha.
Komisioner KPPU lainnya, Ridho Jusmadi, menambahkan bahwa KPPU memberi perhatian khusus pada praktik pengaturan harga (price-fixing).
Praktik semacam ini umumnya terjadi di sektor-sektor yang bersifat oligopoli, seperti farmasi, minyak dan gas, serta infrastruktur.
Ia menyebut bahwa pelanggaran berupa kartel sering kali tidak meninggalkan bukti tertulis.
Namun, dalam hukum terdapat prinsip "the devil is on the details", sehingga proses pembuktian dilakukan melalui penggalian detail-detail yang dapat mengindikasikan adanya kesepakatan tersembunyi.
KPPU mengeksplorasi bukti tidak langsung tersebut untuk mengungkap pelanggaran terhadap prinsip persaingan usaha yang sehat.
- Penulis :
- Aditya Yohan







