Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

RI Ironis, Punya Cadangan Nikel Terbesar tapi Impor dari Filipina: Hilirisasi Terancam Tanpa Kuatkan Hulu

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

RI Ironis, Punya Cadangan Nikel Terbesar tapi Impor dari Filipina: Hilirisasi Terancam Tanpa Kuatkan Hulu
Foto: (Sumber : Pentingnya memitigasi ancaman krisis bijih nikel dalam proses hilirisasi nikel. (ANTARA/HO-FINI).)

Pantau - Indonesia menunjukkan ambisi besar untuk menjadi pusat industri nikel dan baterai listrik dunia, namun di balik optimisme itu muncul ironi: negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia justru harus mengimpor bijih nikel dari negara dengan cadangan jauh lebih kecil.

Hilirisasi Cepat, Hulu Tertinggal

Fenomena ini menjadi peringatan serius bahwa percepatan hilirisasi harus diimbangi dengan penguatan kapasitas pasokan di hulu.

Tanpa penguatan sektor hulu, rantai industri nikel nasional tidak akan mampu bertahan secara berkelanjutan.

Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI), Arif Perdana Kusumah, menegaskan bahwa hilirisasi adalah ekosistem kompleks yang tak bisa berdiri sendiri.

Dalam rantai industri nikel, tambang sebagai penyedia bahan baku, smelter sebagai pengolah, pasar sebagai penyerap produk, dan kebijakan pemerintah sebagai pengarah harus saling terintegrasi.

"Jika satu elemen melemah, maka seluruh struktur industri akan terguncang," ujarnya.

Titik paling rentan saat ini ada di sektor pasokan bijih nikel di hulu.

Arif menyoroti perubahan masa berlaku Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari tiga tahun menjadi satu tahun sebagai tantangan besar.

Jumlah smelter tumbuh pesat, tetapi perencanaan tambang justru makin pendek.

Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara kapasitas produksi tambang dan kebutuhan industri smelter.

Ironisnya, Indonesia memiliki 55 juta ton cadangan logam nikel atau sekitar 45 persen dari total cadangan dunia.

Namun, karena laju ekspansi smelter melebihi peningkatan produksi tambang, Indonesia justru tertinggal dalam produksi bahan baku.

Impor Nikel Meningkat, Momentum Bisa Hilang

Akibat ketimpangan tersebut, Indonesia terpaksa mengimpor bijih nikel dari Filipina.

Pada tahun 2024, volume impor mencapai 10,4 juta ton, dan diperkirakan meningkat menjadi 15 juta ton pada 2025, dengan nilai mencapai 600 juta dolar AS.

Padahal, cadangan logam nikel Filipina hanya sekitar 4,8 juta ton atau 4 persen dari total global.

Arif menjelaskan bahwa impor ini tidak semata-mata karena kekurangan pasokan, tetapi juga dibutuhkan untuk proses blending dalam menyesuaikan rasio silikon (Si) dan magnesium (Mg) pada smelter.

Namun, tetap menjadi ironi ketika negara pemilik cadangan nikel terbesar di dunia bergantung pada pasokan dari negara yang cadangannya jauh lebih kecil.

Kapasitas smelter Indonesia tumbuh signifikan:

  • Tahun 2017: produksi sekitar 250 ribu ton nikel kelas dua
  • Tahun 2024: produksi melonjak menjadi 1,8 juta ton nikel kelas dua dan 395 ribu ton nikel kelas satu

Dalam waktu kurang dari satu dekade, Indonesia berhasil menjadi pemain utama dalam industri baja tahan karat dan material baterai dunia, menguasai lebih dari 60 persen pasar global.

Namun, pertumbuhan pesat ini bisa menjadi bumerang jika pasokan bahan baku tidak stabil.

Smelter dan investasi besar akan kehilangan arti jika pasokan bijih nikel menjadi hambatan utama.

Ketatnya pasokan dapat menimbulkan beberapa risiko serius:

  • Munculnya ketidakpastian investasi
  • Meningkatnya biaya produksi
  • Potensi penghentian operasional smelter
  • Tertundanya pengembangan industri baterai dan kendaraan listrik

Dampak tersebut berpotensi menghambat transformasi strategis nasional dalam sektor energi dan industri nikel.

Arif menegaskan bahwa Indonesia bisa kehilangan momentum emasnya jika krisis pasokan bijih nikel tidak ditangani secara cepat, serius, dan terukur.

Penulis :
Ahmad Yusuf