
Pantau - Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah IPB University menegaskan bahwa agronomi dalam pendayagunaan lahan cetak sawah merupakan strategi krusial untuk meningkatkan produktivitas pertanian nasional, memperkuat ketahanan pangan, dan mendorong tercapainya swasembada secara berkelanjutan.
Pendekatan Agronomi Holistik untuk Produktivitas Sawah
Prof. Baba Barus, Kepala Pusat Pengkajian IPB, menyatakan bahwa optimalisasi lahan cetak sawah tidak dapat dilakukan tanpa pendekatan agronomi yang holistik.
Pendekatan tersebut mencakup pemilihan varietas yang adaptif, pengelolaan tanah dan air, serta sistem budidaya yang sesuai dengan agroekosistem setempat.
“Dari hasil kajian di lapangan, terdapat cetak sawah yang berhasil, yang kurang berhasil, dan tidak berhasil,” ungkap Prof. Baba.
Ia menegaskan bahwa cetak sawah yang berhasil perlu direplikasi di daerah lain, sedangkan yang kurang atau tidak berhasil harus dievaluasi dan ditingkatkan dengan teknologi yang tersedia.
Menurutnya, ilmu agronomi berbasis data lapangan mampu mengidentifikasi faktor pembatas, memberikan solusi tepat guna, dan meningkatkan produktivitas lahan baru secara signifikan.
Perlu Intervensi Agronomi dan Percepatan Program Pemerintah
Ketua Umum Perhimpunan Agronomi Indonesia, Andi Muhammad Syakir, menjelaskan bahwa sebagian besar lahan cetak sawah berada di lahan pasang surut, rawa lebak, dan lahan kering marginal, yang memiliki kendala spesifik seperti keasaman tanah tinggi, keterbatasan drainase, serta retensi hara dan air yang rendah.
“Tanpa intervensi agronomi yang tepat, lahan cetak sawah berpotensi kembali terbengkalai,” ia memperingatkan.
Solusi agronomis seperti ameliorasi tanah, pemupukan berimbang, varietas toleran, dan pengelolaan air mikro sangat diperlukan untuk mengatasi kendala tersebut.
Syakir juga menyoroti keberhasilan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam memberantas praktik mafia pangan dan melakukan koreksi kebijakan yang selama ini merugikan petani.
“Langkah berani Mentan melakukan koreksi di sektor pertanian telah memukul mundur berbagai praktik gelap yang selama puluhan tahun merugikan petani dan merusak sistem pangan nasional,” katanya.
Sementara itu, Prof. Budi Mulyanto, Ketua Kehormatan Himpunan Ilmu Tanah Indonesia, menekankan bahwa sawah adalah fondasi utama swasembada pangan, terutama beras.
Ia mengingatkan bahwa alih fungsi lahan, degradasi tanah, dan terbatasnya lahan subur menjadi tantangan besar.
“Setiap generasi sudah selayaknya mencetak sawah untuk diwariskan pada generasi berikutnya. Ini memang bukan proses yang instan sehingga jangan gampang menyerah,” ujar Prof. Budi.
Plt. Dirjen Lahan dan Irigasi Pertanian Kementerian Pertanian, Hermanto, menyatakan bahwa pemerintah menargetkan pencetakan sawah seluas 225.000 hektare di 17 provinsi pada tahun 2025.
Namun, hingga 21 November 2025, realisasi fisik baru mencapai 21,38 persen atau 48.108 hektare karena menghadapi berbagai kendala teknis, administrasi, sosial, dan konstruksi.
Untuk mengakselerasi capaian, pemerintah menambah alat, tenaga kerja, hari kerja, serta menjalin kolaborasi dengan ahli tanah dan agronomi dari perguruan tinggi.
- Penulis :
- Aditya Yohan







