Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Restitusi Pajak dan Miskonsepsi Krisis APBN 2025: Telaah atas Tekanan Penerimaan dan Realita Fiskal

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Restitusi Pajak dan Miskonsepsi Krisis APBN 2025: Telaah atas Tekanan Penerimaan dan Realita Fiskal
Foto: (Sumber: Peneliti ekonomi GREAT Institute, Adrian Nalendra Perwira. ANTARA/HO-GREAT Institute.)

Pantau - Kekhawatiran publik terhadap krisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 kembali mencuat seiring tekanan pada penerimaan pajak, namun analisis yang keliru terhadap data fiskal justru berisiko menyesatkan diskursus publik.

APBN sejatinya bukan sekadar kumpulan angka statis, melainkan sistem kebijakan yang hidup dan dinamis.

Kondisi APBN dipengaruhi oleh keputusan administratif, dinamika ekonomi, serta manajemen kas negara yang kompleks.

Oleh karena itu, kredibilitas APBN tidak bisa hanya diukur dari satu indikator semata.

Kemampuan negara dalam merespons tekanan fiskal secara disiplin, transparan, dan tanpa membebani perekonomian justru menjadi tolok ukur utamanya.

Peran Restitusi dalam Dinamika Penerimaan Pajak

Salah satu kekeliruan umum dalam membaca kinerja pajak adalah menganggap penurunan penerimaan pajak neto sebagai tanda melemahnya basis pajak nasional.

Padahal, faktor penting yang kerap luput dari perdebatan publik adalah restitusi pajak.

Restitusi pajak merupakan hak wajib pajak atas kelebihan pembayaran dan berfungsi sebagai penopang arus kas perusahaan, khususnya di sektor usaha.

Dari sisi kas negara, peningkatan nilai restitusi memang membuat penerimaan pajak neto terlihat menurun pada tahun berjalan.

Namun, penurunan tersebut tidak serta-merta mencerminkan pelemahan ekonomi atau menurunnya kepatuhan pajak.

Data hingga Oktober 2025 menunjukkan nilai restitusi pajak telah mencapai Rp340,52 triliun.

Jumlah ini naik sebesar 36,4 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2024.

Faktor Waktu dan Tekanan Administratif Sementara

Meski nominal restitusi terlihat besar, pemahaman yang tepat menuntut analisis terhadap faktor waktu (timing).

Kenaikan tajam tersebut sebagian besar disebabkan oleh tumpukan backlog pembayaran restitusi yang tertunda di periode sebelumnya.

Backlog tersebut kemudian dibayarkan sekaligus pada tahun 2025, sehingga menciptakan kesan tekanan fiskal yang berlebihan.

Tanpa penjelasan mengenai faktor ini, publik bisa menarik kesimpulan keliru bahwa kinerja penerimaan pajak sedang jatuh.

Padahal, sebagian besar tekanan yang muncul bersifat administratif dan sementara, bukan karena melemahnya fundamental ekonomi nasional.

Penulis :
Ahmad Yusuf