
Pantau.com Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira menilai jika trade war atau perang dagang benar terjadi antara Amerika Serikat (AS) dengan China, ancaman dampaknya bakal besar. "Akan mempengaruhi kinerja perdagangan secara global khususnya bagi negara mitra dagang AS dan China.
Saat China terhambat aturan bea masuk impor ke AS, produksi manufaktur China akan turun. Begitu juga, dengan permintaan bahan mentah dari Indonesia khususnya batu bara dan kelapa sawit," kata Bhima ketika dihubungi Pantau.com, Kamis (5/4/2018).
Saat ini, Ia melanjutkan, ekspor Indonesia ke China porsinya mencapai 14 persen dari total ekspor nonmigas tahun lalu, nilai ekspor dimaksud USD21,3 miliar, setara Rp285,42 triliun (USD1 = Rp13.400).
"Karena itu, efek trade war tadi pertumbuhan ekspor indonesia tahun ini diprediksi terkoreksi. Apalagi China juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi 6,5 persen pasti dampaknya terasa sekali ke kinerja ekspor," lanjut Bhima.
Baca juga: Genderang 'Trade War' AS-China (Kembali) Berkumandang, Dampak Mengintai
Ia melanjutkan potensi dampak lainnya adalah barang impor China khususnya barang konsumsi, akan membanjiri pasar di Indonesia. Perang dagang antara AS-China, bisa meningkatkan ketergantungan impor Indonesia dalam jangka panjang.
Apalagi, kata Bhima, Indonesia termasuk negara yang paling rendah hambatan nontarif-nya yakni hanya 272 jenis, lebih rendah dibanding China dan AS yang masing-masing di atas 2.000 jenis. "Artinya, Indonesia akan jadi sasaran empuk bagi barang-barang impor China yang terhambat masuk ke AS," ucap Bhima.
Sementara itu, risiko dampak trade war ke pelaku usaha khususnya industri manufaktur akibat banjirnya barang dari China, bisa mempengaruhi permintaan produk lokal. Tak ayal, akan menurunkan omset pelaku usaha kecil.
Baca juga: Ini 15 Fintech yang Sudah Terdaftar di BI
Tercatat, pada Januari-Februari 2018 nilai impor nonmigas dari China naik signifikan 49,12% year on year, atau nilai USD7,2 miliar setara Rp96,48 triliun. Secara spesifik, nilai impor barang konsumsi pun tumbuh 44,3 persen, dibanding posisi yang sama tahun lalu. "Jadi ada korelasi positif antara naiknya tensi perang dagang dengan impor barang konsumsi di Indonesia," kata Bhima.
Hal tersebut, Ia melanjutkan ujungnya berdampak pada pertumbuhan manufaktur sulit menembus 5 persen. Tahun lalu, pertumbuhannya hanya 4,2 persen, di bawah pertumbuhan PDB. "Hal ini juga akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi 2018 yang diprediksi akan berada di bawah target 5,4 persen," lanjutnya.
Menurutnya, kesiapan menghadapi banjir impor dengan perketat Standar Nasional Indonesia (SNI) khususnya untuk impor barang konsumsi, kemudian perkuat industri substitusi impor dalam negeri dengan berikan aneka insentif. Untuk itu, perketat izin importir barang-barang yang bisa diproduksi dalam negeri.
"Solusi lain untuk kurangi dampak trade war, adalah melakukan perluasan atau diversifikasi pasar ke negara tujuan ekspor lain yang potensial seperti Afrika Utara, Eropa Timur, dan Asia Tengah," kata Bhima.
Baca juga: Duh.. Ekonom Nilai Reaksi China Penentu 'Trade War'
Bhima mengatakan Indonesia juga bisa melakukan negosiasi bilateral dengan AS untuk menjadi pengganti impor barang dari China yang dihambat. "Ketika impor dari China berkurang, AS tetap butuh bahan baku industri. Jadi, Indonesia bisa jadi substitusi China," imbuhnya.
Hanya saja, Ia mengatakan, agar bisa melakukan hal itu syaratnya kapasitas produksi domestik harus kuat untuk penuhi permintaan AS. Mitigasi risiko di dalam negeri dengan lakukan antisipasi seperti perkuat permintaan domestik. "Barang tujuan ekspor yang terhambat bisa diserap ke pasar lokal," lanjut Bhima.
- Penulis :
- Martina Prianti