Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Catatan Sejarah, Begini Kondisi Ekonomi Indonesia Jelang G30S/PKI

Oleh Tatang Adhiwidharta
SHARE   :

Catatan Sejarah, Begini Kondisi Ekonomi Indonesia Jelang G30S/PKI

Pantau.com - Indonesia pernah dilanda krisis ekonomi parah sepanjang sejarah republik ini berdiri. Kejadian itu terjadi pada medio tahun 1960 hingga 1966 silam. Ketika itu, Indonesia dipimpin seorang kepala negara, Presiden Ir. Soekarno.

Ketika itu, Indonesia menganut sistem Ekonomi Terpimpin. Sistem tersebut merupakan turunan dari sistem politik yang jadi pedoman Soekarno dalam memimpin negara, yaitu Demokrasi Terpimpin.

Demokrasi Terpimpin merupakan sistem demokrasi, di mana seluruh keputusan berpusat pada pemimpin negara yang dijabat oleh Presiden Soekarno. Demokrasi ini diumumkan pertama kali pada pembukaan sidang konstituante tanggal 10 November 1956.

Baca juga: Sejarawan Soal Film G30S/PKI: Bukan Suatu Upaya untuk Melencengkan

Persoalan ekonomi kala itu sangat beragam, salah satunya APBN Indonesia mengalami defisit hingga berujung ke jurang krisis. Bahkan sebuah tragedi berdarah pun terjadi, tujuh perwira tinggi militer Indonesia dibunuh dalam usaha kudeta. Peristiwa ini disebut gerakan 30 September atau G30S PKI.

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai berideologi kiri terbesar di dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Hingga pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya.

Bahkan PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya. Total PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.

Peristiwa G30S/PKI merupakan catatan sejarah paling kelam bagi bangsa Indonesia. Namun, mengingat peristiwa ini telah terjadi lebih dari lima dekade yang lalu, pastinya banyak orang yang lupa bagaimana kondisi ekonomi jelang peristiwa G30S/PKI.

Baca juga: Indonesia Resesi, Pengangguran dan Orang Miskin Makin Banyak

Menurut data Bank Indonesia (BI) dalam “History of Monetary Period 1959-1966", sepanjang periode 1960-1965, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PBD) begitu rendah. Laju inflasi teramat tinggi hingga mencapai 635 persen pada 1966, bahkan investasi merosot tajam.

Presiden Soekarno, beserta jajarannya memberlakukan kebijakan darurat agar perekonomian negara tidak sekarat. Dari sanering hingga redenominasi diterapkan, tapi situasinya kian rumit dan panasnya situasi politik dengan adanya G30S/PKI, membuat upaya perbaikan moneter kurang maksimal.

Untuk mengetahui kondisi perekonomian sebelum terjadinya sejarah besar di akhir bulan September 2020, Pantau.com memunculkan tulisan wartawan senior Rosihan Anwar, suasana sosial politik bangsa Indonesia, menjelang peristiwa G30S-PKI 1965, antara tahun 1961-1965. Kisah ini dikutip dari buku “Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965”.

Buku karya Rosihan Anwar. (Foto: Ist)

31 Mei 1962

Hari ini Koko mengunjungi Sjahrir di penjara Madiun. Ia dapat izin dari Peperti sebagai ipar Sjahrir mengunjungi orang yang ditahan. Tiga malam yang lalu kami bercakap-cakap tentang gambaran ekonomi dewasa ini yang ternyata suram adanya.

Sarbini menerangkan volume uang di akhir tahun 1961 ada Rp 64 milyar, akhir Mei ada Rp 80 milyar dan pada akhir 1962 ini diduga akan mencapai jumlah Rp 130 milyar. Defisit anggaran negara diperkirakim ada Rp 37 milyar akan tetapi sebenanrya adalah Rp 59 milyar (sebab ”pengeluaran khusus” sebesar Rp 22,2 milyar telah diminta oleh Presiden) sedangkan pengeluaran untuk operasi Irian Barat termasuk pro memori.

Tingkat harga kini paling sedikit sudah lipat ganda dua kali dari beberapa waktu yang lalu. Keadaan devisa suram dan kering. Ketika pada awal tahun ini pemerintah dapat grant beras dari Amerika Serikat dalam rangka Surplus Agriculture Com modity (SAC) Agreement, maka pemerintah harus membayar $ 6 juta untuk membiayai transpor pengapalan beras tadi. Untuk itu saja tidak ada uang sehingga pemerintah harus meminta lagi kepada AS.

Tahun ini Pemerintah telah meminta penundaan pembayaran atas kredit-kredit yang diterimanya dari luar negeri. Kabarnya Uni Soviet, Jerman Barat bersedia meluluskannya. Prancis yang turut dalam Proyek Jatiluhur tidak meluluskan permintaan penundaan pembayaran tersebut. Uang yang tersedia dari pampasan Jepang sampai tahun 1963 kabarnya sudah habis terpakai sehingga dari sana pun tidak dapat diharapkan apa-apa. Kedudukan devisa jadinya sulit sekali.

Tahun lalu masih ada ekspor sebesar 20 milyar devisa rupiah. Kini kendati ada usaha export drive, jumlah itu tentu berkurang. Sistem SIVA tampaknya tidak jalan. Impor pun karena itu tentu akan berkurang dengan segala akibatnya atas produksi di dalam negeri yang mandek dibikinnya.

Apakah keadaan ekonomi yang suram itu menunjukkan  Indonesia mendekati krisis ekonomi? Krisis itu belum tampak. Selama pemerintah berusaha menjaga adanya impor beras secara minimal dan hal ini dapat dilakukan karena penghasilan dari ekspor karet saja ada sekitar Rp 10 milyar sedangkan untuk impor beras diperlukan Rp 4 milyar, maka apa yang dinamakan safety margin tetap terjamin walaupun sudah kecil sekali, demikian uraian Sarbini.

Baca juga: Ini Jejak PKI dalam Sepakbola Indonesia Sebelum Jadi Partai Terlarang

Penulis :
Tatang Adhiwidharta