
Pantau - Setelah bertahun-tahun dilanda perang dan kehancuran, warga Gaza kembali menatap masa depan dengan hati waspada. Gencatan senjata terbaru yang diumumkan pada 10 Oktober 2025 membawa harapan baru, tetapi juga diselimuti ketakutan dan trauma yang mendalam.
Gencatan Senjata Dimulai, Tapi Luka Masih Terbuka
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada 29 September 2025 mengumumkan rencana perdamaian 20 poin untuk Gaza yang di antaranya mewajibkan Hamas untuk menyerahkan senjata dan tidak ikut dalam pemerintahan Gaza.
Meski awalnya dianggap mustahil, setelah pembicaraan tidak langsung antara Israel dan Hamas, kedua pihak menyepakati tahap pertama dari rencana tersebut.
Gencatan senjata resmi dimulai pada Jumat, 10 Oktober 2025, dan diformalkan dalam sebuah KTT di Sharm el-Sheikh, Mesir pada 13 Oktober.
Penulis, yang menyaksikan siaran langsung penandatanganan kesepakatan dari apartemennya di Kota El-Shorouk, Kairo timur, teringat akan pengalamannya selama tujuh bulan tinggal di Gaza saat perang: malam-malam tanpa listrik, serangan udara, dan rumah sakit yang dipenuhi ibu-ibu lelah.
Selama dua tahun terakhir, berbagai upaya gencatan senjata selalu berakhir dengan kekecewaan.
Reem Salah, seorang perawat di Rumah Sakit Nasser, berkata, "Kami berharap gencatan senjata kali ini bertahan lama. Kami sudah lelah terus-menerus dikecewakan."
Ia menambahkan, "Warga di sini masih bersikap hati-hati, namun terdapat sorotan baru di mata mereka, sesuatu antara ketakutan dan kelegaan."
Youssef Hamdan, sopir taksi dari Khan Younis, mendengar kabar gencatan senjata saat sedang mengangkut jenazah.
"Saya bahkan tidak merayakannya. Butuh beberapa menit untuk menyadari bahwa saya masih bernapas, dan keluarga saya selamat, setidaknya untuk saat ini," katanya.
Meski ia kini bisa berkendara tanpa terus-menerus menatap langit, Hamdan mengaku rasa takut tidak sepenuhnya hilang.
"Perang mungkin telah berakhir, namun rasa takut tidak benar-benar hilang, begitu pula ingatan tentang apa yang keluarga dan diri saya telah alami."
Gencatan Senjata Belum Jadi Akhir, Hanya Awal dari Ketidakpastian
Di Kota Gaza, Rawan Abu Jaber, seorang guru berusia 29 tahun, tak kuasa menahan tangis saat mendengar kabar gencatan senjata.
"Saya menangis, bukan tangis bahagia, namun karena merasa lelah. Rasanya tidak nyata," ujarnya.
Saat perang dimulai, ia berusaha menenangkan murid-muridnya, namun serangan udara besar menghancurkan jendela rumahnya dan melemparkan keluarganya ke lantai.
"Saya berdoa bukan meminta untuk selamat, namun jika saat itu (kematian) terjadi, semoga itu akan berlangsung cepat," kenangnya.
Setelah gencatan senjata diumumkan, Abu Jaber keluar dari tenda pengungsian dan mendapati lingkungan sekitarnya dalam kondisi hancur.
"Dalam benak saya, saya berpikir, kami selamat, namun sebagian dari (diri) kami tetap tertinggal di bawah puing-puing tersebut."
Bagi warga Palestina, gencatan senjata ini dianggap sebagai langkah awal menuju stabilitas, namun bukan akhir dari konflik panjang.
Esmat Mansour, analis politik Palestina dari Ramallah, menyatakan bahwa Hamas telah menyetujui klausul awal terkait gencatan senjata dan pertukaran tahanan.
Namun, belum ada kesepakatan penuh terkait tahap selanjutnya, termasuk pengaturan keamanan dan politik.
"Fase selanjutnya akan menentukan apakah gencatan senjata ini dapat bertahan lama atau gagal. Setiap pelanggaran atau eskalasi di lapangan dapat membawa situasi tersebut kembali ke titik awal," kata Esmat Mansour.
Warga Gaza kini hidup di antara dua perasaan: bahagia karena hidup, dan takut karena belum tentu selamat besok.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf