
Pantau - Penurunan tarif dagang resiprokal Amerika Serikat terhadap China dari 57 persen menjadi 47 persen dinilai dapat memicu persaingan ketat di antara negara-negara produsen Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
CORE: Produk China Masih Punya Daya Saing Kuat
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menyatakan bahwa penurunan tarif tersebut berpotensi memperkuat posisi produk China di pasar Amerika Serikat.
Faisal menjelaskan bahwa meskipun tarif terhadap China masih dua kali lebih tinggi dibanding negara-negara ASEAN yang dikenakan tarif di kisaran 19–20 persen, daya saing China tetap tinggi.
“Walaupun masih dua kali lipatnya, tapi China dengan kondisi seperti sekarang masih punya bargaining power yang kuat dari sisi competitiveness produknya, karena dari tarif dasar, dari China (masih) sangat murah,” ungkapnya.
Ia menambahkan, “Jadi artinya walaupun dikenakan tarif resiprokal 47 persen dan yang lain mungkin kisaran 19–20 persen, sangat mungkin produk China di harga di end-user atau end-consumer-nya di Amerika bisa jadi tetap bisa lebih murah atau paling tidak bersaing.”
Faisal menyebut bahwa penurunan tarif ini akan meningkatkan persaingan antara negara-negara produsen besar di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Celios: Indonesia Bisa Kehilangan Momentum Relokasi Industri
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, turut menyoroti dampak meredanya tensi dagang AS-China terhadap posisi Indonesia.
Menurut Bhima, penurunan tarif ini berpotensi mengurangi arus relokasi industri dari China ke negara lain, termasuk ke Indonesia.
“Pun selama ini dengan tarif yang tinggi kan beberapa perusahaan relokasinya dari China ke Vietnam, Malaysia, Thailand, Kamboja. Jadi Indonesia harus cepat simak momentum sebelum tarif produk Amerika dan China ini semakin menurun,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya Indonesia memperkuat posisi tawar dalam negosiasi tarif dagang dengan AS.
Tarif 19 persen yang dikenakan terhadap produk Indonesia dinilainya belum memiliki kepastian final.
“Soal negosiasi tarif 19 persen ini masih banyak hal yang harus didetilkan dan dibahas. Jadi posisinya sebenarnya masih banyak yang wait and see, (termasuk) investor, eksportir dan importir itu masih banyak yang wait and see,” jelas Bhima.
Ia juga mempertanyakan kelanjutan kebijakan domestik seperti kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan kuota impor yang masih menjadi perdebatan.
Disepakati di Pertemuan Trump-Xi Jinping
Penurunan tarif tersebut diumumkan langsung oleh Presiden AS Donald Trump setelah pertemuannya dengan Presiden China Xi Jinping di Busan, Korea Selatan, pada Kamis, 30 Oktober 2025.
Trump menyampaikan bahwa total tarif dagang terhadap China resmi diturunkan dari 57 persen menjadi 47 persen.
Langkah ini dinilai sebagai upaya meredakan ketegangan dagang antara dua kekuatan ekonomi dunia.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf










