
Pantau - Waketum Partai Gerindra Habiburokhman meminta Polri menindaklanjuti putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) perihal kebocoran data. Habiburokhman bilang kebocoran data ini bisa masuk tindak pidana.
"Kami meminta Polri agar menindaklanjuti putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi hari ini yang dengan terang dan jelas menyebut terjadi kebocoran informasi terkait putusan Mahkamah Konstitusi," kata Habiburokhman kepada wartawan, Selasa (7/11/2023).
Habiburokhman menuturkan, kebocoran data dan informasi adalah tindak pidana. Dia menyebut, pihak yang terbukti membocorkan data dan informasi bisa dijerat pidana penjara maksimal 7 tahun.
"Pembocoran Informasi jelas merupakan tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 112 KUHP yg mengatur larangan mengumumkan surat-surat, berita-berita atau keterangan- keterangan yang diketahuinya bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun," ungkap Habiburokhman.
"Pelaku pembocoran rahasia atau informasi tersebut harus bisa diungkap dengan metode penyidikan yang ilmiah," imbuhnya.
Sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) membacakan putusan terkait dugaan pelanggaran kode etik Ketua MK Anwar Usman beserta para hakim konstitusi lainnya.
Dalam putusan tersebut, MKMK memutuskan bahwa sembilan hakim MK terbukti telah melanggar etik. Mereka dinilai tidak bisa menjaga kerahasiaan isi rapat permusyawaratan hakim sebelum dibacakan di depan publik.
“Memutuskan menyatakan, satu, para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama prinsip kepantasan dan kesopanan. Dua, menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif lisan kepada para hakim terlapor,“ kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie di Mahkamah Konstitusi, Selasa (7/11/2023).
Diberitakan sebelumnya, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menegaskan, pihaknya hanya menangani persoalan etik hakim, tidak bisa mengubah keputusan MK.
"Karena di antara laporan itu ada permintaan untuk mengubah pencapresan sampai begitu, padahal kita ini hanya kode etik, hanya menegakkan kode etik hakim, bukan mengubah keputusan MK," ujar Jimly.
Jimly menuturkan, persepsi yang muncul dari berbagai laporan yang masuk beragam. Ia mengakui tak mudah untuk memproses hal tersebut hingga akhirnya diputuskan sidang dilakukan secara terbuka.
"Maka kami sudah ya bersepakat mengadakan persidangan terbuka. Itu tidak sesuai dengan aturan yang dibuat MK tapi kita bikin terbuka sepanjang menyangkut pelapor," ujarnya.
Jimly meminta para pelapor dugaan pelanggaran etik meyakinkan MKMK saat sidang dengan argumen-argumen yang didasari logika hukum.
"Intinya, pertama, bagaimana Anda meyakinkan lembaga penegak kode etik, mengurusi perilaku para hakim, lalu membatalkan putusan," imbuhnya.
- Penulis :
- Khalied Malvino