
Pantau - Komisaris PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), Suwito Gunawan (Awi), divonis 8 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus korupsi pengelolaan timah.
Selain hukuman penjara, Awi juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp1 miliar. Jika denda ini tak dilunasi, ia akan menjalani tambahan kurungan selama 6 bulan.
Tak hanya itu, hakim memutuskan Awi membayar uang pengganti sebesar Rp2,2 triliun. Jika ia gagal melunasi dalam satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, jaksa akan melelang harta benda yang disita untuk menutupi jumlah tersebut.
Apabila harta yang dimiliki tidak mencukupi, Awi terancam hukuman tambahan 6 tahun penjara.
Keadilan Diutamakan dalam Peradilan
Pengamat hukum Heru Riyadi menekankan bahwa keadilan harus menjadi prioritas utama dalam peradilan, termasuk dalam kasus Awi.
"Ada Radbruch Formula yang mengutamakan keadilan, kemanfaatan, baru kemudian kepastian hukum," jelas Heru, Kamis (2/1/2025).
Heru menambahkan, prinsip ini telah diadopsi dalam KUHP terbaru yang berlaku mulai 2 Januari 2026, sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 Ayat (1) dan (2).
"Hakim wajib mengutamakan keadilan saat terjadi pertentangan dengan kepastian hukum," tuturnya.
Kontroversi Kerugian Lingkungan
Vonis terhadap Awi juga memunculkan perdebatan mengenai kerugian negara yang mencapai Rp300 triliun.
Baca juga:
- Harvey Moeis Beri Pesan ke Anak-anaknya: Papa Bukan Koruptor
- Sandra Dewi Sebut Harvey Moeis Hanya bantu Teman dalam Korupsi Timah
Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir, mengkritisi penyatuan peradilan kerugian negara akibat korupsi dan kerusakan lingkungan.
Menurutnya, kerugian lingkungan sebesar Rp271,07 triliun seharusnya diproses terpisah.
"Kerugian lingkungan hidup diatur undang-undang tersendiri. Jadi, kasus korupsi dan lingkungan tidak bisa digabung," tegas Mudzakkir.
Sebagian besar kerugian lain berasal dari pembayaran bijih timah ilegal (Rp26,65 triliun) dan kerja sama pengolahan timah yang tak sesuai ketentuan (Rp2,28 triliun).
Metode Penghitungan Kerugian Dipersoalkan
Guru Besar IPB, Sudarsono Soepomo, mengkritik metode perhitungan kerugian negara yang dilakukan ahli lingkungan Bambang Hero Saharjo.
Ia menilai penggunaan sampel minim, alat yang tidak representatif, dan tenaga ahli kurang kompeten membuat hasilnya diragukan.
"Bagi saya, ini sangat salah. Metodenya ngawur dan seharusnya dikoreksi," tegas Sudarsono.
Ia mengingatkan, hasil perhitungan yang keliru bisa memunculkan dugaan kejahatan intelektual.
Terlepas dari kontroversi ini, publik berharap keadilan tetap menjadi prioritas utama dalam proses hukum, baik bagi korban maupun terdakwa.
- Penulis :
- Khalied Malvino