Pantau Flash
HOME  ⁄  Internasional

Bangkitnya Fiksi Ilmiah China: Dari "Trisurya" hingga Dominasi Baru dalam Dunia Sci-Fi Global

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Bangkitnya Fiksi Ilmiah China: Dari "Trisurya" hingga Dominasi Baru dalam Dunia Sci-Fi Global
Foto: Bangkitnya Fiksi Ilmiah China: Dari "Trisurya" hingga Dominasi Baru dalam Dunia Sci-Fi Global(Sumber: ANTARA/Xinhua)

Pantau - Fiksi ilmiah (sci-fi) dari China tengah mengalami kebangkitan global dalam beberapa tahun terakhir, menandai pergeseran dominasi genre yang sebelumnya dikuasai penulis Barat seperti Isaac Asimov, Arthur C. Clarke, dan Ursula K. Le Guin.

Nama Liu Cixin mencuat secara internasional setelah novelnya The Three-Body Problem memenangkan Hugo Award pada 2015, penghargaan paling bergengsi dalam dunia fiksi ilmiah dan fantasi.

Oni Suryaman, penerjemah versi Indonesia novel tersebut yang berjudul Trisurya, mengatakan bahwa karya Liu bukan sekadar soal alien dan sains, tetapi juga menyentuh pertanyaan besar tentang eksistensi manusia dan masa depan peradaban.

"Karya Liu mengangkat pertanyaan besar tentang posisi manusia di alam semesta dan ke mana peradaban kita bergerak," ungkap Oni.

Ia menyebut tantangan terbesar dalam menerjemahkan Trisurya adalah memahami konteks sejarah seperti Revolusi Kebudayaan di China serta berbagai konsep ilmiah yang kompleks.

Unik dengan Sentuhan Budaya Timur

Silvana, seorang konsultan dan penggemar fiksi ilmiah, mengaku tertarik pada karya Liu terutama karena temanya yang membahas penjelajahan luar angkasa.

Ia mengenal fiksi ilmiah China lewat The Three-Body Problem dan The Wandering Earth, dua karya yang disebutnya sebagai pintu masuk untuk memahami perspektif baru dalam genre sci-fi.

China juga memiliki penulis sci-fi lain seperti Hao Jingfang dengan Folding Beijing dan Chen Qiufan lewat Waste Tide.

Silvana merekomendasikan antologi Sinopticon yang diedit Xueting C. Ni dan Broken Stars yang diterjemahkan Ken Liu sebagai bacaan wajib untuk memahami kekhasan sci-fi dari China.

Menurut Oni, fiksi ilmiah China memiliki “rasa Asia” karena tetap mempertahankan tema klasik seperti ruang angkasa dan masa depan, namun dibalut dengan nilai budaya dan mitologi lokal.

"Nilai dan latar budaya serta mitologi China memberikan sentuhan unik pada sci-fi mereka," tambah Silvana.

Ia juga menghadiri World Science Fiction Convention (Worldcon) 2023 di Chengdu, China, dan menyebut acara itu sangat impresif dengan fasilitas lengkap dan atraksi seperti replika robot raksasa dari The Wandering Earth.

Namun ia mengakui bahwa sekitar 60 persen sesi Worldcon hanya tersedia dalam bahasa Mandarin, yang menjadi kendala bagi peserta asing.

Menembus Pasar Indonesia dan Potensi Adaptasi Layar Lebar

Oni menyebut bahwa meskipun minat terhadap fiksi ilmiah di Indonesia masih tergolong rendah, pembacanya sangat fanatik dan kritis.

Trisurya yang terbit pertama kali pada 2019 telah mengalami cetak ulang hingga empat kali.

Banyak pembaca Indonesia merasa lebih memahami konsep-konsep ilmiah setelah membaca versi terjemahan ini.

"Film adalah media yang sangat baik untuk memopulerkan fiksi ilmiah," kata Oni, merujuk pada harapan agar lebih banyak karya sci-fi China diadaptasi ke dalam film atau serial.

Silvana pun menyebut bahwa China bisa menjadi pionir komunitas fiksi ilmiah Asia melalui konvensi regional yang melibatkan penulis-penulis dari berbagai negara di Asia.

Kebangkitan ini tidak terlepas dari dukungan pemerintah China terhadap industri fiksi ilmiah, termasuk kebijakan penerbitan, promosi, dan adaptasi media.

Keduanya sepakat bahwa masa depan fiksi ilmiah kini tidak lagi dimonopoli satu budaya, karena Timur juga punya cerita dan nilai-nilai yang kuat untuk disampaikan.

Penulis :
Ahmad Yusuf

Terpopuler