
Pantau - Bercanda adalah bentuk dari cara manusia berkomunikasi. Dengan bercanda seseorang bisa meredakan ketegangan dan mencairkan suasana dalam interaksi sosial. Tidak hanya itu, melalui candaan, selain tawa yang dihasilkan, hubungan sosial juga menjadi lebih hangat dan harmonis. Tidak banyak yang menyadari bahwa dalam bercanda memiliki banyak aspek yang penting, seperti aspek psikologis.
Tentunya dalam bercanda juga perlu banyak yang harus diperhatikan, salah satunya adalah bagaimana kita bercanda, jangan sampai cara kita bercanda bisa menyakitkan orang lain dan berujung kepada hal-hal yang tidak diinginkan.
Seperti yang terjadi baru-baru ini, Seorang pria berinisial SZ (23) tega menusuk mantan rekan kerjanya SY (21) di gudang minimarket Jalan Pecenongan Raya, Kebon Kelapa, Gambir, Jakarta Pusat (Jakpus), Selasa (10/9/2024) lantaran sakit hati dengan perkataan dan bercandaan korban. Pelaku dikabarkan sakit hati karena korban memintanya untuk melakukan oral sex. Candaan itu sudah sering terjadi, ia mendapatkan candaan itu sejak awal bekerja dengan korban sekitar 3 bulan lalu.
“Adanya kata-kata yang tidak pantas dari korban mengenai alat kelamin dari si korban. Jadi (korban sempat bilang), ‘Kalau mau duit, nih isep ini (alat kelamin) saya’,” kata Kapolsek Gambir, Kompol Jamalinus Nababan, Rabu (11/9/2024).
Dilihat dari kasus tersebut, bercanda bisa menjadi sangat berbahaya kalau tidak memperhatikan etika dalam bercanda. Walaupun dengan teman atau sahabat karib, etika dalam bercanda harus tetap dijaga untuk menghidari perasaan yang tidak enak kepada lawan bicara. Oleh sebab itu, bagaimana sebenarnya etika dalam bercanda?
Dilansir dari detikhealth, menurut Veronica Adesla, psikolog dari Personal Growth, bercanda yang baik adalah bercanda yang tidak ada unsur mengina, mengejek, menyakiti, melukai, mengintimidasi dan mengandur unsur SARA (Suku Agama Ras dan Antargolongan).
Menurutnya, bercanda yang wajar dan tidak wajar bisa diukur dari dampak cara bercanda pelaku kepada orang yang diajak bercanda dan orang sekitar. Jika berdampak atau berpotensi buruk, seperti mengancam keselamatan dan kesehatan baik fisik maupun mental, kesejahteraan, kedamaian orang yang diajak bercanda dan atau sekitar (masyarakat dan negara), maka ini termasuk bercanda yang sudah masuk kedalam kategori abusive atau bully.
Kalau begitu, apa saja yang kita harus perhatikan ketika bercanda?
Dijelaskan pada buku "The Psychology of Humor: An Integrative Approach" (2007) oleh Rod A. Martin berikut adalah bagaimana etika dalam humor digunakan di kehidupan sosial:
Memperhatikan Jenis Humor/Bercanda
Martin menjelaskan terdapat 2 jenis humor, yaitu agresif dan asertif. Humor agresif adalah humor yang merendahkan, mengejek, atau menyinggung orang lain, yang dapat merusak hubungan dan menciptakan konflik. Sebaliknya, humor asertif adalah humor yang fokusnya hanya saling tertawa tanpa melibatkan penghinaan atau menyakiti orang lain.
Melihat siapa lawan bicara
Jenis bercanda harus disesuaikan dengan latar belakang, budaya, dan sensitivitas orang lain. Candaan yang diterima di satu orang atau kelompok belum tentu diterima di kelompok lain, dan salah satu unsur etika bercanda adalah melihat reaksi lawan bicara untuk menghindari kesalahpahaman
Memperhatikan batasan
Menyadari bahwa tidak semua hal bisa dijadikan bahan bercandaan, topik sensitif seperti isu SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan) sebaiknya dihindari, menjadikan kekurangan orang lain sebagai bahan bercandaan termasuk hal yang tidka etis.
Kesadaran dan tanggung jawab diri sendiri
Orang yang bercanda harus paham bagaimana candaan mereka bisa diterima oleh orang lain. Jika hal itu justru membuat orang tidak nyaman dan cenderung menyakiti, maka penting untuk bertanggung jawab atas apa yang ia jadikan bahan bercandaan.
Baca juga: Mulanya Bercanda, Briptu ER yang Mabuk Tembak Warga Sipil di NTT Dikenai Sanksi Pidana 5 Tahun |
Memahami etika bercanda menurut psikologi sangat penting agar interaksi sosial tetap sehat dan harmonis. Bercanda yang baik harus memperhatikan perasaan orang lain, konteks situasi, serta batasan-batasan yang ada. Dengan mengedepankan empati dan kesadaran, kita bisa menikmati momen humor tanpa menyinggung atau melukai perasaan orang lain. Jadi, jadikan humor sebagai alat mempererat hubungan, bukan sebagai pemicu konflik.
Laporan: Mai Hendar Santoso
- Penulis :
- Latisha Asharani