
Pantau - Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS, menjadi sorotan tajam publik setelah melakukan ibadah umrah di tengah situasi darurat akibat bencana banjir yang melanda wilayahnya.
Ibadah yang ia lakukan merupakan ibadah sunah dan disebut sebagai bentuk pelaksanaan nazar pribadi yang sempat tertunda.
Namun, kritik dari masyarakat tidak tertuju pada ibadahnya, melainkan pada waktu pelaksanaan yang dianggap tidak pantas, karena dilakukan saat rakyatnya tengah menghadapi penderitaan.
Banjir yang terjadi di Aceh Selatan menyebabkan kerusakan parah pada fasilitas umum dan permukiman warga, kondisi serupa juga terjadi di wilayah lain seperti Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Perjalanan umrah tersebut justru menimbulkan persepsi negatif karena dinilai sebagai bentuk pelarian dari tanggung jawab sebagai kepala daerah di saat krisis.
Pelanggaran Aturan dan Sanksi dari Kementerian Dalam Negeri
Meski bersifat pribadi, tindakan Mirwan MS dinilai melanggar etika publik karena tidak menunjukkan empati terhadap rakyat yang terdampak bencana.
Dalam posisi sebagai pejabat publik, sebagian hak pribadi seorang pemimpin bisa gugur, termasuk untuk melakukan hal baik, jika hal tersebut mengabaikan penderitaan rakyat.
Dalam konteks etika dan moral, tindakan ibadah sekalipun bisa dianggap keliru jika tidak mempertimbangkan situasi dan kepentingan masyarakat luas.
Mirwan MS juga terbukti melakukan pelanggaran hukum administratif karena pergi ke luar negeri tanpa izin resmi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara selama tiga bulan terhadap Bupati Aceh Selatan tersebut.
Sanksi tersebut dijatuhkan berdasarkan Pasal 76 Ayat (i) dan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Fakta lainnya, izin keberangkatan ke luar negeri yang diajukan oleh Mirwan MS sebelumnya telah ditolak oleh Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, namun perjalanan tetap dilaksanakan.
Pelajaran Moral bagi Pejabat Publik
Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa pejabat publik tidak hanya dituntut menaati hukum, tetapi juga harus menjunjung tinggi moralitas, etika, dan empati terhadap masyarakat yang mereka pimpin.
Artikel ini tidak bermaksud menghakimi niat ibadah, namun menekankan bahwa pejabat negara harus menomorsatukan keselamatan dan kepentingan rakyat di atas agenda pribadi.
Sebagai penutup, artikel ini mengajak publik untuk belajar dari kisah Ali bin Muwaffaq yang memilih membantu orang lain ketimbang menunaikan ibadah pribadi, sebuah refleksi bahwa pertolongan terhadap rakyat harus menjadi prioritas utama seorang pemimpin.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf








