HOME  ⁄  Lifestyle

Live Streaming saat Salat. Ini Hukumnya Menurut Pandangan Syariat

Oleh Annisa Indri Lestari
SHARE   :

Live Streaming saat Salat. Ini Hukumnya Menurut Pandangan Syariat
Foto: Ilustrasi. (iStock)

Pantau - Baru-baru ini pengguna media sosial dikagetkan dengan viralnya rekaman video yang memperlihatkan imam salat tarawih melakukan siaran langsung atau live streaming di TikTok.

Baca : Cara Mengosongkan Pikiran saat Sedang Salat

Terlihat dalam video tersebut, imam memimpin salat jamaah sembari menjalankan live streaming yang disaksikan oleh lebih dari 6.000 ribu pengguna di TikTok.

Beberapa mempertanyakan etika serta kekhusyukan ibadah dalam situasi tersebut, sementara yang lain menganggapnya sebagai bentuk inovasi dalam berdakwah. 

Lalu, bagaimana pandangan syariat terkait praktik ini?

Dikutip dari NU Online, dalam isu ini perlu ditinjau dua aspek utama, yaitu keabsahan dan etika dalam salat. Secara fiqih, salat yang dilakukan sambil live streaming di TikTok tetap sah selama syarat dan rukunnya terpenuhi serta tidak ada hal-hal yang membatalkannya.

Adapun dari sisi etika, melakukan live streaming saat salat berpotensi mengganggu kekhusyukan ibadah. Padahal, khusyuk merupakan salah satu aspek paling penting dalam salat, yang dapat mempengaruhi kualitas dan nilai ibadah seseorang di hadapan Allah. Sesuai dengan firman-Nya dalam surat Thaha:

Tunaikanlah salat untuk mengingatKu.” (QS Thaha: 14).

Selain itu, salat sambil live streaming dan disaksikan oleh banyak orang berpotensi menimbulkan rasa riya’ atau pamer dalam ibadah. Padahal, riya’ merupakan penyakit hati yang dapat merusak pahala suatu ibadah. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulummiddin menegaskan

“Jika seseorang bersedekah atau salat dengan niat mengharap pahala dari Allah sekaligus menginginkan pujian dari manusia, maka perbuatannya termasuk syirik yang bertentangan dengan keikhlasan. Hukum mengenai hal ini telah kami jelaskan dalam kitab Ikhlas. Dalil yang mendukung pendapat ini adalah perkataan Sa'id bin al-Musayyib dan Ubadah bin ash-Shamit, yang menyatakan bahwa orang tersebut tidak mendapatkan pahala sama sekali.” (Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah: t.t.] jilid III, halaman 301).

Penulis :
Annisa Indri Lestari