billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Lifestyle

Apakah Cancel Culture Perlu Dinormalisasi? Menimbang Dampak Positif dan Negatifnya

Oleh Pranayla Mauli Fathiha
SHARE   :

Apakah Cancel Culture Perlu Dinormalisasi? Menimbang Dampak Positif dan Negatifnya
Foto: Apakah Cancel Culture Perlu Dinormalisasi? Menimbang Dampak Positif dan Negatifnya (freepik.com)

Pantau - Istilah "cancel culture" semakin sering terdengar di era media sosial ini. Tapi, apa sebenarnya cancel culture itu? Apakah fenomena ini perlu dinormalisasi atau justru dihindari?

Menurut Merriam-Webster Dictionary, "cancel culture" adalah praktik atau kecenderungan melakukan pembatalan massal sebagai bentuk ketidaksetujuan dan tekanan sosial. Cambridge Dictionary mendefinisikan cancel culture sebagai sikap atau aksi seseorang atau kelompok, terutama di media sosial, untuk menolak atau berhenti mendukung seseorang karena perkataan atau perbuatannya yang dianggap menyinggung.

Sederhananya, cancel culture adalah tindakan memboikot atau menarik dukungan dari seseorang atau sebuah entitas (misalnya perusahaan atau merek) karena mereka telah melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap ofensif atau bermasalah. Target dari cancel culture ini biasanya adalah tokoh publik, seperti selebritas, politisi, atau influencer.

Contoh-Contoh Cancel Culture

Ada banyak contoh cancel culture yang terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia:

  • Gofar Hilman: Selebritas ini kehilangan sejumlah pekerjaan setelah dituduh melakukan pelecehan seksual.
  • Ayu Ting Ting: Sempat diboikot dari televisi karena menendang kru TV saat siaran langsung.
  • Listy Chan dan Ericko Lim: Kehilangan banyak subscriber YouTube karena diduga terlibat skandal perselingkuhan.
  • J.K. Rowling: Penulis Harry Potter ini dianggap transfobik karena komentar negatifnya tentang komunitas transgender.
  • Johnny Depp: Sempat terkena cancel culture setelah dituduh melakukan kekerasan pada Amber Heard, meskipun kemudian terbukti sebaliknya.

Dampak Positif Cancel Culture

Meskipun seringkali dikritik, cancel culture juga memiliki beberapa dampak positif:

  • Menarik Perhatian pada Isu Sosial: Cancel culture dapat digunakan untuk menyoroti isu-isu sosial atau ketidakadilan yang sering diabaikan.
  • Memberikan Efek Jera: Dengan mengecam atau memboikot pelaku, cancel culture bertujuan untuk memberikan efek jera, baik kepada pelaku maupun kepada orang lain, sehingga perilaku buruk tidak terulang.
  • Mendorong Tanggung Jawab Publik: Cancel culture dapat mendorong tokoh publik untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan berbicara di depan umum, serta bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan mereka.

Dampak Negatif Cancel Culture

Di sisi lain, cancel culture juga memiliki dampak negatif yang perlu diperhatikan5:

  • Merusak Reputasi: Cancel culture dapat merusak citra seseorang, bahkan jika tuduhan tersebut belum terkonfirmasi kebenarannya.
  • Mendorong Konformitas: Cancel culture dapat mendorong orang untuk mengikuti opini mayoritas, bahkan jika mereka memiliki pandangan yang berbeda.
  • Membungkam Opini yang Berbeda: Cancel culture dapat menciptakan kondisi "spiral of silence", di mana orang dengan pandangan minoritas memilih untuk diam agar tidak dikucilkan atau diserang.
  • Kurangnya Ruang untuk Pertumbuhan dan Penebusan: Cancel culture seringkali tidak memberikan ruang bagi orang untuk belajar dari kesalahan mereka, meminta maaf, dan berubah menjadi lebih baik.

Apakah Cancel Culture Perlu Dinormalisasi?

Pertanyaan apakah cancel culture perlu dinormalisasi adalah perdebatan yang kompleks. Tidak ada jawaban tunggal yang benar atau salah. Beberapa orang berpendapat bahwa cancel culture adalah alat yang efektif untuk meminta pertanggungjawaban orang atas tindakan mereka dan mendorong perubahan sosial yang positif.

Namun, yang lain berpendapat bahwa cancel culture terlalu keras, tidak adil, dan dapat memiliki konsekuensi yang menghancurkan bagi kehidupan seseorang. Mereka berpendapat bahwa cancel culture lebih sering digunakan untuk mempermalukan dan menghukum orang daripada untuk mendorong dialog dan pemahaman.

Menuju Accountability Culture yang Lebih Sehat

Mungkin yang lebih penting daripada menormalisasi atau menghindari cancel culture adalah menciptakan "accountability culture" yang lebih sehat. Dalam budaya akuntabilitas, orang bertanggung jawab atas tindakan mereka, tetapi juga diberi kesempatan untuk belajar dari kesalahan mereka dan menebus diri mereka sendiri.

Beberapa prinsip yang dapat membantu menciptakan accountability culture yang lebih sehat meliputi:

  • Verifikasi Fakta: Sebelum ikut serta dalam cancel culture, pastikan bahwa tuduhan tersebut didukung oleh bukti yang kuat.
  • Proporsionalitas: Hukuman harus sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
  • Kesempatan untuk Meminta Maaf dan Menebus Kesalahan: Berikan orang kesempatan untuk mengakui kesalahan mereka, meminta maaf, dan menunjukkan bahwa mereka telah belajar dari pengalaman tersebut.
  • Dialog dan Pendidikan: Alih-alih hanya menghukum orang, gunakan kesempatan tersebut untuk memulai dialog tentang isu-isu penting dan mendidik orang tentang bagaimana berperilaku lebih baik di masa depan.

Cancel culture adalah fenomena kompleks dengan dampak positif dan negatif. Alih-alih fokus pada apakah cancel culture perlu dinormalisasi atau tidak, kita harus berupaya menciptakan accountability culture yang lebih sehat, di mana orang bertanggung jawab atas tindakan mereka, tetapi juga diberi kesempatan untuk belajar, tumbuh, dan menebus kesalahan. Dengan demikian, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan penuh kasih.

Penulis :
Pranayla Mauli Fathiha