
Pantau - Waketum PPP Zainut Tauhid Sa'adi meminta masyarakat memahami isi pidato Ketum PPP Suharso Monoarfa di KPK yang menyinggung soal 'ampolop kiai'.
"Hendaknya masyarakat membaca pidato Ketua Umum PPP Bapak Suharso Monoarfa secara utuh, tidak dipotong sebagaimana yang beredar dan menjadi viral di masyarakat. Hal tersebut dapat menimbulkan salah penafsiran dan keluar dari konteks yang sebenarnya," kata Zainut kepada wartawan, Sabtu (20/8/2022).
Zainut mengungkapkan, isi pidato Suharso ini memaparkan tentang gejala politik transkasional di masyarakat yang memunculkan praktik politik tidak sehat, mahal, dan cenderung koruptif.
Sehingga Zainut yang juga Wakil Menteri Agama (Wamenag) ini menilai isi pidato Suharso ini bukan untuk merendahkan harkat dan martabat siapapun, termasuk kiai.
"Pidato beliau sama sekali tidak ada niat untuk merendahkan harkat martabat siapa pun, utamanya para kiai dan pengasuh pondok pesantren. Beliau semata ingin mendudukkan persoalan yang selama ini sudah menjadi kebiasaan di masyarakat," jelasnya.
Selain itu, kata Zainut, isi pidato Suharso ini merespons pernyataan Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardhiana yang mengatakan 'jangan membenarkan hal biasa, namun membiasakan hal yang benar'.
Isi pidato Suharso ini juga menjawab sambutan dari Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang meminta PPP mesti jadi partai yang menjunjung tinggi Sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan mengedepankan keuangan yang mahakuasa.
"Beliau ingin mengatakan apakah yang biasa dilakukan oleh para santri, muhibbin, dan masyarakat ketika sowan kiai dengan memberi amplop (bisyaroh) itu termasuk perilaku yang membenarkan hal yang biasa atau membiasakan hal yang benar? Karena hal seperti itu sudah menjadi kelaziman di kalangan masyarakat pesantren sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan guru atau kiai," tutur Zainut.
"Dan apakah hal tersebut termasuk kategori perbuatan penyuapan atau korupsi? 'Itu sesungguhnya mafhum mukhalafah dari apa yang disampaikan beliau, sebuah telaah kritis agar kita bijak dalam menilai sesuatu'," lanjutnya.
Isi pidato Suharso ini, terang Zainut, juga menjawab pernyataan KPK perihal cara membangun sebuah sistem demokrasi yang hebat dan berintegritas. Maka untuk menjawabnya, Suharso mengilustrasikan dengan keadaan yang ada saat ini.
"Dengan memberikan tamsil atau ilustrasi seperti tersebut, Pak Ketum bermaksud ingin meyakinkan kepada KPK agar bisa memahami kondisi riil yang terjadi di masyarakat. Ada istilah yang juga beliau sampaikan bahwa setiap pemilu itu harus ada NPWP: nomor piro wani piro. Hal tersebut menggambarkan praktik politik transaksional di tengah masyarakat yang begitu terstruktur, sistematis, dan masif. Maka beliau minta kepada KPK untuk ikut memberikan edukasi kepada masyarakat melalui program Politik Cerdas Bebas Korupsi," ucapnya.
Karena itu, Zainut meminta agar pidato Suharso ini tidak lagi dijadikan polemik. Sebab, Suharso sudah minta maaf dan mengklarifikasi pernyataannya.
"Bapak Suharso Monoarfa sudah memberikan klarifikasi dan menyampaikan permohonan maaf secara tulus dan terbuka atas kekhilafannya membuat ilustrasi yang menurut beliau kurang tepat sehingga menimbulkan polemik di masyarakat. Untuk hal tersebut, saya mohon polemik ini untuk segera dihentikan dan disudahi agar tidak menimbulkan kegaduhan yang berlarut di masyarakat," katanya.
Isi pidato Suharso Monoarfa
Diketahui, Suharso Monoarfa berpidato dalam 'Pembekalan Antikorupsi Politik Cerdas Berintegritas (PCB) untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP)' di gedung ACLC KPK, Jakarta, pada 15 Agustus kemarin. Suharso menceritakan pengalaman amplop ini bermula ketika dia menjabat Plt Ketum PPP.
"Saya akan mulai dari satu cerita. Ketika saya kemudian menjadi Plt Ketua Umum, saya mesti bertandang kepada beberapa kiai besar, ke pondok pesantren besar. Ini demi Allah dan Rasul-Nya terjadi. Saya datang ke kiai itu dengan beberapa kawan, lalu saya pergi begitu saja," kata Suharso.
"Ya saya minta, apa, didoain, kemudian saya jalan. Tak lama kemudian, saya dikirimi pesan, di-WhatsApp, 'Pak Plt, tadi ninggali apa nggak untuk kiai?'" ujarnya.
Suharso kemudian menanyakan balik maksud 'ninggali' setelah bertemu dengan kiai. Dia menduga ada barangnya yang tertinggal di lokasi tersebut. Orang dalam cerita Suharso disebut merespons dengan mengatakan 'Oh, nanti saja, Pak'.
"Maka sampailah dalam, setelah keliling itu ketemu, lalu dibilang pada saya, 'Gini, Pak Plt, kalau datang ke beliau-beliau itu, mesti ada tanda mata yang ditinggalkan'. Wah, saya nggak bawa. Tanda matanya apa? Sarung, peci, Qur'an atau apa? 'Kayak nggak ngerti aja Pak Harso ini'. Gitu. Then I have to provide that one. Everywhere," kata Suharso.
Suharso menyebut fenomena ini masih terjadi hingga saat ini. Menurutnya, jika sehabis pertemuan tidak ada amplop, itu terasa hambar. Suharso mengaku tengah membenahi hal ini.
"Dan setiap ketemu, Pak, ndak bisa, Pak, bahkan sampai hari ini. Kalau kami ketemu di sana, itu kalau selamanya itu nggak ada amplopnya, Pak, itu pulangnya itu sesuatu yang hambar. This is the real problem that we are fixing today," ujar dia.
"Hendaknya masyarakat membaca pidato Ketua Umum PPP Bapak Suharso Monoarfa secara utuh, tidak dipotong sebagaimana yang beredar dan menjadi viral di masyarakat. Hal tersebut dapat menimbulkan salah penafsiran dan keluar dari konteks yang sebenarnya," kata Zainut kepada wartawan, Sabtu (20/8/2022).
Zainut mengungkapkan, isi pidato Suharso ini memaparkan tentang gejala politik transkasional di masyarakat yang memunculkan praktik politik tidak sehat, mahal, dan cenderung koruptif.
Sehingga Zainut yang juga Wakil Menteri Agama (Wamenag) ini menilai isi pidato Suharso ini bukan untuk merendahkan harkat dan martabat siapapun, termasuk kiai.
"Pidato beliau sama sekali tidak ada niat untuk merendahkan harkat martabat siapa pun, utamanya para kiai dan pengasuh pondok pesantren. Beliau semata ingin mendudukkan persoalan yang selama ini sudah menjadi kebiasaan di masyarakat," jelasnya.
Selain itu, kata Zainut, isi pidato Suharso ini merespons pernyataan Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardhiana yang mengatakan 'jangan membenarkan hal biasa, namun membiasakan hal yang benar'.
Isi pidato Suharso ini juga menjawab sambutan dari Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang meminta PPP mesti jadi partai yang menjunjung tinggi Sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan mengedepankan keuangan yang mahakuasa.
"Beliau ingin mengatakan apakah yang biasa dilakukan oleh para santri, muhibbin, dan masyarakat ketika sowan kiai dengan memberi amplop (bisyaroh) itu termasuk perilaku yang membenarkan hal yang biasa atau membiasakan hal yang benar? Karena hal seperti itu sudah menjadi kelaziman di kalangan masyarakat pesantren sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan guru atau kiai," tutur Zainut.
"Dan apakah hal tersebut termasuk kategori perbuatan penyuapan atau korupsi? 'Itu sesungguhnya mafhum mukhalafah dari apa yang disampaikan beliau, sebuah telaah kritis agar kita bijak dalam menilai sesuatu'," lanjutnya.
Isi pidato Suharso ini, terang Zainut, juga menjawab pernyataan KPK perihal cara membangun sebuah sistem demokrasi yang hebat dan berintegritas. Maka untuk menjawabnya, Suharso mengilustrasikan dengan keadaan yang ada saat ini.
"Dengan memberikan tamsil atau ilustrasi seperti tersebut, Pak Ketum bermaksud ingin meyakinkan kepada KPK agar bisa memahami kondisi riil yang terjadi di masyarakat. Ada istilah yang juga beliau sampaikan bahwa setiap pemilu itu harus ada NPWP: nomor piro wani piro. Hal tersebut menggambarkan praktik politik transaksional di tengah masyarakat yang begitu terstruktur, sistematis, dan masif. Maka beliau minta kepada KPK untuk ikut memberikan edukasi kepada masyarakat melalui program Politik Cerdas Bebas Korupsi," ucapnya.
Karena itu, Zainut meminta agar pidato Suharso ini tidak lagi dijadikan polemik. Sebab, Suharso sudah minta maaf dan mengklarifikasi pernyataannya.
"Bapak Suharso Monoarfa sudah memberikan klarifikasi dan menyampaikan permohonan maaf secara tulus dan terbuka atas kekhilafannya membuat ilustrasi yang menurut beliau kurang tepat sehingga menimbulkan polemik di masyarakat. Untuk hal tersebut, saya mohon polemik ini untuk segera dihentikan dan disudahi agar tidak menimbulkan kegaduhan yang berlarut di masyarakat," katanya.
Isi pidato Suharso Monoarfa
Diketahui, Suharso Monoarfa berpidato dalam 'Pembekalan Antikorupsi Politik Cerdas Berintegritas (PCB) untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP)' di gedung ACLC KPK, Jakarta, pada 15 Agustus kemarin. Suharso menceritakan pengalaman amplop ini bermula ketika dia menjabat Plt Ketum PPP.
"Saya akan mulai dari satu cerita. Ketika saya kemudian menjadi Plt Ketua Umum, saya mesti bertandang kepada beberapa kiai besar, ke pondok pesantren besar. Ini demi Allah dan Rasul-Nya terjadi. Saya datang ke kiai itu dengan beberapa kawan, lalu saya pergi begitu saja," kata Suharso.
"Ya saya minta, apa, didoain, kemudian saya jalan. Tak lama kemudian, saya dikirimi pesan, di-WhatsApp, 'Pak Plt, tadi ninggali apa nggak untuk kiai?'" ujarnya.
Suharso kemudian menanyakan balik maksud 'ninggali' setelah bertemu dengan kiai. Dia menduga ada barangnya yang tertinggal di lokasi tersebut. Orang dalam cerita Suharso disebut merespons dengan mengatakan 'Oh, nanti saja, Pak'.
"Maka sampailah dalam, setelah keliling itu ketemu, lalu dibilang pada saya, 'Gini, Pak Plt, kalau datang ke beliau-beliau itu, mesti ada tanda mata yang ditinggalkan'. Wah, saya nggak bawa. Tanda matanya apa? Sarung, peci, Qur'an atau apa? 'Kayak nggak ngerti aja Pak Harso ini'. Gitu. Then I have to provide that one. Everywhere," kata Suharso.
Suharso menyebut fenomena ini masih terjadi hingga saat ini. Menurutnya, jika sehabis pertemuan tidak ada amplop, itu terasa hambar. Suharso mengaku tengah membenahi hal ini.
"Dan setiap ketemu, Pak, ndak bisa, Pak, bahkan sampai hari ini. Kalau kami ketemu di sana, itu kalau selamanya itu nggak ada amplopnya, Pak, itu pulangnya itu sesuatu yang hambar. This is the real problem that we are fixing today," ujar dia.
- Penulis :
- khaliedmalvino