
Pantau - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akan menggelar peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-50. PDIP merupakan salah satu partai tertua yang masih eksis hingga saat ini di dunia politik tanah air.
Bukan waktu yang singkat bagi partai yang identik dengan warna merah menyala ini bisa menjadi partai penguasa pada hari ini. Pada era Orde Baru, partai ini bahkan hanya menjadi 'anak bawang'.
Berikut ulasan sejarah dari PDIP dalam 50 tahun perjalanan politiknya di tanah air.
PDIP berdiri dari adanya peleburan terhadap sejumlah partai politik (parpol) pada masa pemerintahan Orde Baru. Kala itu, Presiden Soeharto menginginkan adanya stabilitas politik dengan menggabungkan sejumlah parpol yang memiliki kesamaan ideologi dan program.
Lima parpol yang beraliran nasionalisme, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (Partai IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik melebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 10 Januari 1973.
PDI menjadi satu dari tiga peserta pemilu sepanjang masa pemerintahan Presiden Soeharto. Selain PDI, ada PPP dan Golkar yang belum menjadi partai politik.
Sepanjang keikutsertaannya dalam Pemilu di era Orde baru, PDI selalu mendapatkan posisi buncit. Namun, dengan bergabungnya Megawati dan Guruh Soekarnoputra pada 1987, ada peningkatan drastis perolehan kursi PDI di parlemen.
Bergabungnya dua anak proklamator RI, Mega dan Guruh berhasil mendongkrak suara PDI pada Pemilu 1987, yakni 40 kursi dari sebelumnya hanya 24 kursi. Begitu pun pada Pemilu 1992 menjadi 56 kursi.
Tingginya suara PDI tak lepas dari pengaruh Megawati Soekarnoputri. Pada kongres di Surabaya tahun 1993, Megawati terpilih secara mutlak menjadi Ketua Umum PDI mengalahkan Budi Hardjono.
Namun, pemerintahan Orde Baru berupaya mendongkel Megawati melalui kongres di Medan dengan menunjuk kembali Soerjadi menjadi Ketua Umum.
Dualisme PDI akibat campur tangan rezim Orde Baru ini turut memunculkan peristiwa berdarah 27 Juli 1997 (Kudatuli), yakni penyerangan dan pembakaran terhadap Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat.
Akibat kejadian ini, pada Pemilu 1997 suara PDI merosot tajam dengan hanya meraih 11 kursi di parlemen. Sejumlah loyalis dari Megawati Soekarnoputri memilih golput dan beberapa mengalihkan suaranya untuk PPP.
Usai jatuhnya rezim Orde baru pada 21 Mei 1998, Megawati mendeklarasikan pembentukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan mengikut Pemilu 1999. Pada Pemilu perdana di era reformasi, PDIP berhasil menjadi pemenang dengan capaian suara nasional 33,74% dan 153 kursi di parlemen.
PDIP kembali menjadi peserta Pemilu 2004 dan 2009. Namun, perolehan suara PDIP merosot ke peringkat kedua (2004) dan ketiga (2009). PDIP kembali menjadi pemenang Pemilu dua kali berturut-turut pada 2014 dan 2019.
Bukan waktu yang singkat bagi partai yang identik dengan warna merah menyala ini bisa menjadi partai penguasa pada hari ini. Pada era Orde Baru, partai ini bahkan hanya menjadi 'anak bawang'.
Berikut ulasan sejarah dari PDIP dalam 50 tahun perjalanan politiknya di tanah air.
Pendirian partai akibat fusi
PDIP berdiri dari adanya peleburan terhadap sejumlah partai politik (parpol) pada masa pemerintahan Orde Baru. Kala itu, Presiden Soeharto menginginkan adanya stabilitas politik dengan menggabungkan sejumlah parpol yang memiliki kesamaan ideologi dan program.
Lima parpol yang beraliran nasionalisme, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (Partai IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik melebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 10 Januari 1973.
PDI menjadi satu dari tiga peserta pemilu sepanjang masa pemerintahan Presiden Soeharto. Selain PDI, ada PPP dan Golkar yang belum menjadi partai politik.
Sepanjang keikutsertaannya dalam Pemilu di era Orde baru, PDI selalu mendapatkan posisi buncit. Namun, dengan bergabungnya Megawati dan Guruh Soekarnoputra pada 1987, ada peningkatan drastis perolehan kursi PDI di parlemen.
Bergabungnya dua anak proklamator RI, Mega dan Guruh berhasil mendongkrak suara PDI pada Pemilu 1987, yakni 40 kursi dari sebelumnya hanya 24 kursi. Begitu pun pada Pemilu 1992 menjadi 56 kursi.
Dualisme partai, lahirnya PDIP
Tingginya suara PDI tak lepas dari pengaruh Megawati Soekarnoputri. Pada kongres di Surabaya tahun 1993, Megawati terpilih secara mutlak menjadi Ketua Umum PDI mengalahkan Budi Hardjono.
Namun, pemerintahan Orde Baru berupaya mendongkel Megawati melalui kongres di Medan dengan menunjuk kembali Soerjadi menjadi Ketua Umum.
Dualisme PDI akibat campur tangan rezim Orde Baru ini turut memunculkan peristiwa berdarah 27 Juli 1997 (Kudatuli), yakni penyerangan dan pembakaran terhadap Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat.
Akibat kejadian ini, pada Pemilu 1997 suara PDI merosot tajam dengan hanya meraih 11 kursi di parlemen. Sejumlah loyalis dari Megawati Soekarnoputri memilih golput dan beberapa mengalihkan suaranya untuk PPP.
Usai jatuhnya rezim Orde baru pada 21 Mei 1998, Megawati mendeklarasikan pembentukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan mengikut Pemilu 1999. Pada Pemilu perdana di era reformasi, PDIP berhasil menjadi pemenang dengan capaian suara nasional 33,74% dan 153 kursi di parlemen.
PDIP kembali menjadi peserta Pemilu 2004 dan 2009. Namun, perolehan suara PDIP merosot ke peringkat kedua (2004) dan ketiga (2009). PDIP kembali menjadi pemenang Pemilu dua kali berturut-turut pada 2014 dan 2019.
- Penulis :
- Aditya Andreas