
Pantau - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, meminta negara hadir secara adil dalam memandang dan memberikan fasilitas jika terjadi perbedaan penetapan waktu Hari Raya Idulfitri 1444 H di Indonesia. Ia mengatakan lebaran Idul Fitri boleh berbeda, tetapi masyarakat bisa bersama merayakan dan melaksanakannya.
"Kalau besok ada perbedaan itu adalah hal yang lumrah karena ini soal ijtihad, sampai nanti kita bersepakat ada kalender Islam global,” kata Haedar, dikutip dari situs resmi Muhammadiyah, Senin (17/4/2023).
Guru Besar Sosiologi itu mengatakan di tengah perbedaan tersebut negara harus hadir secara adil dan ihsan. Lebih-lebih dalam urusan keagamaan, jangan sampai terjadi rezimentasi agama di tubuh negara ini.
“Kalau misalkan tidak memberi fasilitas yang selama ini digunakan menjadi milik negara untuk yang berbeda seperti besok Muhammadiyah lebaran 21, tidak perlu bikin larangan. Syukur lebih kalau silakan gunakan, hari ini digunakan Muhammadiyah, besok digunakan tanggal 22,” lanjut Haedar.
Haedar mengatakan penggunaan satu lokasi untuk Salat Id yang berbeda hari tidak membatalkan salah satu di antara keduanya. Bahkan, lanjut dia, lokasi tersebut mendapat keberkahan dua kali lipat karena digunakan untuk Salat Id dua kali.
Terkait dengan permintaan Muhammadiyah di salah satu daerah untuk izin penggunaan fasilitas negara sebagai tempat Salat Id, Haedar mengatakan itu bukan karena Muhammadiyah tidak memiliki fasilitas sendiri, tapi Muhammadiyah ingin menegaskan bahwa fasilitas negara adalah milik seluruh golongan dan rakyat.
“Biasanya kita juga punya fasilitas-fasilitas, tapi bukan itu. Kami bisa menyelenggarakan di tempat kami. Tapi yang kami inginkan adalah negara, pemerintah dengan segala fasilitasnya itu milik seluruh golongan dan rakyat,” kata Haedar.
Terkait pandangannya itu, Muhammadiyah sama sekali tidak menuntut lebih. Mengutip perkataan Presiden Indonesia pertama, Soekarno, dalam Pidato 1 Juni, Haedar menyebut bahwa Indonesia bukan milik satu orang, satu golongan, hanya golongan bangsawan saja, tapi Indonesia milik semua untuk semua.
“Lebih dari itu, mari kita bangun bangsa ini menjadi lebih maju. Kalau persoalan-persoalan tadi itu kan persoalan rumah tangga kita berbangsa dan bernegara, ada dinamikanya tidak perlu didramatisasi,” katanya.
“Tapi yang tidak kalah penting adalah, bisakah bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan alamnya yang kaya raya. Ke depan kita manajemen dengan baik sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa dalam spirit berkemajuan,” lanjut Haedar.
"Kalau besok ada perbedaan itu adalah hal yang lumrah karena ini soal ijtihad, sampai nanti kita bersepakat ada kalender Islam global,” kata Haedar, dikutip dari situs resmi Muhammadiyah, Senin (17/4/2023).
Guru Besar Sosiologi itu mengatakan di tengah perbedaan tersebut negara harus hadir secara adil dan ihsan. Lebih-lebih dalam urusan keagamaan, jangan sampai terjadi rezimentasi agama di tubuh negara ini.
“Kalau misalkan tidak memberi fasilitas yang selama ini digunakan menjadi milik negara untuk yang berbeda seperti besok Muhammadiyah lebaran 21, tidak perlu bikin larangan. Syukur lebih kalau silakan gunakan, hari ini digunakan Muhammadiyah, besok digunakan tanggal 22,” lanjut Haedar.
Haedar mengatakan penggunaan satu lokasi untuk Salat Id yang berbeda hari tidak membatalkan salah satu di antara keduanya. Bahkan, lanjut dia, lokasi tersebut mendapat keberkahan dua kali lipat karena digunakan untuk Salat Id dua kali.
Terkait dengan permintaan Muhammadiyah di salah satu daerah untuk izin penggunaan fasilitas negara sebagai tempat Salat Id, Haedar mengatakan itu bukan karena Muhammadiyah tidak memiliki fasilitas sendiri, tapi Muhammadiyah ingin menegaskan bahwa fasilitas negara adalah milik seluruh golongan dan rakyat.
“Biasanya kita juga punya fasilitas-fasilitas, tapi bukan itu. Kami bisa menyelenggarakan di tempat kami. Tapi yang kami inginkan adalah negara, pemerintah dengan segala fasilitasnya itu milik seluruh golongan dan rakyat,” kata Haedar.
Terkait pandangannya itu, Muhammadiyah sama sekali tidak menuntut lebih. Mengutip perkataan Presiden Indonesia pertama, Soekarno, dalam Pidato 1 Juni, Haedar menyebut bahwa Indonesia bukan milik satu orang, satu golongan, hanya golongan bangsawan saja, tapi Indonesia milik semua untuk semua.
“Lebih dari itu, mari kita bangun bangsa ini menjadi lebih maju. Kalau persoalan-persoalan tadi itu kan persoalan rumah tangga kita berbangsa dan bernegara, ada dinamikanya tidak perlu didramatisasi,” katanya.
“Tapi yang tidak kalah penting adalah, bisakah bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan alamnya yang kaya raya. Ke depan kita manajemen dengan baik sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa dalam spirit berkemajuan,” lanjut Haedar.
- Penulis :
- Syahrul Ansyari