
Pantau - Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian menegaskan, perguruan tinggi seharusnya tidak menjadikan mahasiswa sebagai alat untuk mencari keuntungan dalam pembangunan kampus.
Oleh karena itu, Hetifah mendesak agar dilakukan evaluasi terhadap otonomi perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH).
"Diperlukan evaluasi terhadap otonomi PTN-BH terkait pendapatan, terutama dari sektor akademik/pendidikan. Ini bertujuan agar ditetapkan standar minimum dan maksimum nominal UKT (uang kuliah tunggal), sehingga tidak memberatkan mahasiswa," ungkap Hetifah, Jumat (10/5/2024).
Hetifah mempertimbangkan, kenaikan UKT yang signifikan kemungkinan disebabkan oleh status PTN-BH. Status ini memberikan perguruan tinggi kemandirian dalam bidang akademik dan non-akademik.
Namun, menurutnya, perubahan status tersebut juga memberikan PTN-BH kewenangan mutlak dalam menetapkan kebijakan tanpa intervensi eksternal.
Hetifah menyayangkan, meskipun PTN-BH memiliki keleluasaan mencari dana tambahan dari sektor swasta untuk kegiatan kampus atau infrastruktur, namun bukan berarti PTN dapat secara bebas menaikkan UKT mahasiswa.
"Meskipun PTN-BH memiliki kewenangan untuk mencari dana tambahan dari swasta, peningkatan UKT hingga 3 hingga 5 kali lipat tidaklah rasional dan relevan mengingat kondisi ekonomi masyarakat Indonesia saat ini," tegas politikus dari Partai Golkar tersebut.
Pembahasan mengenai biaya UKT yang tinggi belakangan menjadi perbincangan hangat, dengan aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa di sejumlah perguruan tinggi, seperti Universitas Jenderal Sudirman (Unsoed) Purwokerto dan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Mahasiswa telah melakukan berbagai upaya untuk menanggung biaya UKT yang tinggi, termasuk mencari beasiswa, menggadaikan aset berharga, bahkan terpaksa berutang.
Kasus utang melalui pinjaman daring pun menjadi sorotan, terutama setelah salah satu institusi pendidikan, yaitu ITB, mengizinkan penggunaan pinjaman daring melalui situs resmi kampus.
- Penulis :
- Aditya Andreas