
Pantau - Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan sebagai dasar hukum percepatan penghentian operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Namun, kebijakan ini menuai kritik karena dianggap belum cukup tegas dan rinci.
Policy Strategist dari Yayasan CERAH, Sartika Nur Shalati, menilai bahwa Permen ini belum menyebutkan secara jelas kapasitas dan daftar PLTU yang akan dipensiunkan lebih awal.
Pensiun PLTU Masih Bersyarat dan Minim Tenggat Waktu
Permen 10/2025 hanya menyatakan bahwa penghentian PLTU harus didahului kajian, tanpa mencantumkan tenggat waktu yang tegas.
Kajian ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kapasitas, usia pembangkit, utilisasi, emisi gas rumah kaca, nilai tambah ekonomi, hingga dukungan pendanaan dan teknologi, serta keandalan sistem listrik dan dampak terhadap tarif.
Sartika menyebut bahwa pensiun dini PLTU bersifat conditional karena seluruh proses bergantung pada hasil kajian.
Ia menyayangkan tidak adanya tenggat waktu penghentian total seluruh PLTU, padahal Presiden Prabowo telah menyatakan komitmen untuk menghentikan PLTU pada 2040 dalam forum KTT G20 tahun 2024.
Kriteria Lemah dan Potensi Penundaan
Wicaksono Gitawan dari CERAH menambahkan bahwa kriteria dalam Pasal 12 tidak mengatur sanksi atau tindak lanjut jika kajian molor dari batas waktu enam bulan, yang dapat berujung pada penundaan jadwal penghentian PLTU.
Aspek Transisi Energi Berkeadilan dalam Pasal 11 bahkan hanya diberi bobot 10,1% dan belum memiliki kerangka implementasi yang jelas.
Opsi Teknologi Dipertanyakan, Risiko Emisi Masih Tinggi
Permen ini juga membuka opsi perpanjangan usia PLTU dengan retrofit teknologi seperti co-firing biomassa, hidrogen, amonia, serta carbon capture and storage (CCS).
Langkah ini dinilai bertentangan dengan target pengurangan emisi, karena memungkinkan PLTU tetap membakar batu bara hingga tahun 2060.
Penerapan CCS sendiri masih dinilai belum terbukti efektif secara global, dengan banyak proyek yang gagal menyerap karbon secara maksimal.
Proyeksi dalam Permen 10/2025 dinilai masih sejalan dengan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024, yang disebut mengandalkan solusi semu dan tidak cukup kuat untuk menurunkan emisi secara signifikan.
Selain itu, pilihan teknologi mahal seperti nuklir dan CCS juga dinilai berisiko membebani anggaran negara dan mendorong kenaikan tarif listrik bagi masyarakat.
- Penulis :
- Gian Barani