
Pantau - Netty Prasetiyani Aher, anggota Komisi IX DPR RI, menggagas pentingnya arah baru kebijakan kependudukan nasional melalui pendekatan Family Enabling Policy dalam forum United Nations Population Fund (UNFPA) yang digelar di Jakarta.
Pendekatan ini menempatkan keluarga sebagai pusat kesejahteraan sosial dan menekankan perlunya integrasi lintas sektor demi menciptakan kebijakan kependudukan yang adil, berkelanjutan, dan adaptif terhadap tantangan zaman.
Menempatkan Keluarga Sebagai Aktor Pembangunan
Dalam paparannya, Netty menyampaikan bahwa isu Keluarga Berencana (KB) perlu dipahami secara komprehensif dan tidak hanya sebatas pengaturan kelahiran.
"Isu KB bukan sekadar pengaturan kelahiran, tetapi tentang bagaimana negara memastikan setiap keluarga memiliki kemampuan dan daya dukung untuk hidup bermartabat," ungkapnya.
Netty menyoroti fenomena meningkatnya pasangan muda yang menikah tanpa kesiapan emosional, ekonomi, dan psikologis, serta tanpa visi bersama dalam membangun keluarga.
"Banyak pasangan yang masuk ke fase pernikahan tanpa bekal keterampilan mengasuh dan merawat anak, bahkan tanpa kesiapan ekonomi dan psikologis. Ini berdampak pada tumbuh kembang anak dan ketahanan keluarga secara keseluruhan," ia mengungkapkan.
Ia menegaskan bahwa kebijakan kependudukan yang ideal harus bersifat enabling, yaitu menciptakan kondisi yang mendukung tumbuhnya keluarga yang berdaya, sejahtera, dan setara.
Netty juga menekankan pentingnya reproductive agency, yakni kemampuan individu—terutama perempuan—untuk mengambil keputusan reproduktif secara sadar dan terlindungi oleh sistem sosial yang adil.
"Kita memerlukan kebijakan yang memberdayakan keluarga agar mampu menjadi aktor utama pembangunan kesejahteraan. Pendekatan ini memerlukan sinergi lintas sektor—dari kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, hingga perlindungan sosial—semuanya harus berpihak pada keluarga," jelasnya.
Sinergi Lintas Sektor dan Tantangan Demografi
Family Enabling Policy secara akademik berorientasi pada family empowerment melalui penciptaan lingkungan struktural yang kondusif bagi keluarga.
Pendekatan ini mencakup integrasi antara kebijakan kesehatan reproduksi, perlindungan pekerja perempuan, insentif bagi keluarga muda, serta sistem care economy yang menghargai kerja domestik sebagai bagian dari produktivitas nasional.
Netty menyatakan bahwa gagasan ini penting untuk menjembatani ketegangan antara nilai-nilai konservatif, hak reproduksi, dan kebutuhan pembangunan manusia yang berkelanjutan di Indonesia.
Ia juga mengutip nilai dalam Alquran tentang pentingnya tidak meninggalkan generasi yang lemah sebagai dasar moral untuk memperkuat ketahanan keluarga.
Melalui forum UNFPA ini, Netty menyerukan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, BKKBN, lembaga internasional, dan masyarakat sipil dalam membangun sistem kebijakan kependudukan yang berkeadilan dan adaptif.
"Indonesia harus keluar dari paradigma kuantitas menuju kualitas. Pembangunan nasional harus berangkat dari keluarga sebagai unit terkecil, tapi paling strategis dalam membentuk kualitas manusia Indonesia," katanya.
Forum UNFPA ini menjadi ruang refleksi strategis atas fenomena penurunan tingkat fertilitas (low fertility) di Indonesia yang berdampak besar terhadap dinamika demografi dan pembangunan manusia.
Acara ini turut dihadiri berbagai tokoh penting, di antaranya perwakilan UNFPA Hassan Mohtashami dan Verania Andria, Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Wihaji, Pimpinan Komisi IX DPR RI Putih Sari, serta akademisi dan aktivis seperti Prof. Sri Moertiningsih Adioetomo, Mari Elka Pangestu, Lies Marcoes, I Dewa Gede Karma Wisana, Ph.D, dan Bianti Djiwandono.
- Penulis :
- Shila Glorya