
Pantau - Isu pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali mencuat ke permukaan seiring dengan maraknya penggunaan tagar “Save Raja Ampat” di media sosial sebagai bentuk penolakan terhadap aktivitas tambang yang dinilai mengancam kelestarian lingkungan kawasan tersebut.
Raja Ampat yang selama ini dikenal karena keindahan laut dan keanekaragaman hayatinya, kini juga menarik perhatian karena cadangan nikel yang dimilikinya, yang mengundang minat sejumlah perusahaan tambang untuk melakukan eksploitasi.
Kekhawatiran terhadap Kerusakan Lingkungan
Penolakan publik terhadap tambang nikel meningkat seiring kekhawatiran bahwa aktivitas pertambangan, termasuk yang disebut sebagai “ramah lingkungan”, pada dasarnya tetap merusak.
Dalam artikel yang beredar, dinyatakan bahwa kegiatan tambang secara alami menghilangkan semua yang ada di permukaan tanah untuk mengambil hasil bumi, melibas habis pepohonan, dan mengubah lanskap alam yang indah menjadi lahan industri.
Kesadaran ini memunculkan gelombang penolakan dari masyarakat yang khawatir keindahan Raja Ampat akan berubah menjadi kawasan tambang dalam beberapa tahun ke depan.
Perusahaan Tambang yang Beroperasi di Raja Ampat
PT GAG Nikel menjadi perusahaan yang paling banyak mendapat sorotan publik dari lima perusahaan tambang yang memiliki izin operasi di Raja Ampat.
Perusahaan ini mengelola aktivitas pertambangan di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, dengan izin operasi produksi yang diterbitkan pada tahun 2017.
Empat perusahaan lainnya yang juga mengantongi izin adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), dan PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), yang mendapat izin sejak 2013, serta PT Nurham yang izinnya baru terbit pada 2025.
Artikel juga menekankan bahwa praktik pertambangan harus dilakukan dengan mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan mengetahui batas waktu kapan aktivitas harus dihentikan.
- Penulis :
- Balian Godfrey