
Pantau - Badan Bank Tanah menyatakan komitmennya dalam mendukung reforma agraria dan pengembangan sektor unggulan daerah, khususnya hilirisasi kakao di Provinsi Sulawesi Tengah melalui penyediaan lahan yang legal dan terukur.
Kolaborasi Bank Tanah, BI, dan Pemerintah Daerah
Sekretaris Badan Bank Tanah, Jarot Wahyu Wibowo, menyampaikan bahwa kehadiran Bank Tanah di Sulawesi Tengah bertujuan membangun komunikasi antara pemerintah provinsi, Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sulteng, dan pemerintah pusat melalui Kementerian UMKM.
"Kehadiran kami di Sulawesi Tengah untuk membangun komunikasi baru antara pemerintah provinsi yang diprakarsai oleh BI Sulteng, dan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian UMKM", ujarnya.
Berdasarkan data Bank Indonesia, Sulawesi Tengah merupakan salah satu daerah penghasil kakao terbesar di Indonesia dengan kontribusi sekitar 146 ribu ton dari total produksi nasional sebesar 641 ribu ton per tahun.
Salah satu kendala utama dalam pengembangan industri kakao adalah keterbatasan lahan yang tersedia untuk mendukung proses hilirisasi.
Bank Tanah berkolaborasi dengan BI dan pemerintah daerah guna menyediakan lahan potensial yang akan digunakan untuk pembangunan fasilitas hilirisasi dan peningkatan kapasitas produksi.
Beberapa lokasi lahan telah ditetapkan dan sedang dalam proses penetapan Hak Pengelolaan (HPL) oleh pemerintah.
"Bank Tanah telah hadir di Sulteng sejak tahun 2023 dan telah menempatkan tim organik di Kabupaten Poso. Kami mengharapkan tidak hanya di Poso, dan juga mulai menjajaki pengembangan di Sigi, Luwuk dan Parigi Moutong", ungkap Jarot.
Reforma Agraria untuk Pemerataan Ekonomi
Team Leader Project Poso Badan Bank Tanah, Mahendra Wahyu, menyebut pihaknya telah mengantongi izin HPL seluas 7.075 hektare di Sulawesi Tengah.
Rinciannya mencakup 6.600 hektare di Kabupaten Poso, 160 hektare di Kabupaten Sigi, dan 315 hektare di Kabupaten Parigi Moutong.
"Untuk di Kabupaten Poso, Bank Tanah akan melaksanakan program reforma agraria dengan sebanyak 1.550 hektare dari total luas lahan 6.600 hektare, akan diberikan kepada masyarakat yang berhak menerima sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria", jelas Mahendra.
Ia menegaskan bahwa lahan yang dikelola Bank Tanah tidak berasal dari tanah adat atau lahan milik masyarakat, melainkan dari bekas Hak Guna Usaha (HGU) yang telah dikembalikan ke negara.
"Tanah yang kami kelola berasal dari bekas Hak Guna Usaha (HGU) yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Jadi tidak benar bahwa Bank Tanah merebut hak-hak masyarakat, tanah adat, maupun hutan lindung", tegasnya.
Fokus utama saat ini adalah percepatan reforma agraria di Poso, karena masyarakat di wilayah tersebut telah lama tidak mendapatkan kepastian hukum terkait aset tanah mereka.
"Dengan adanya Bank Tanah, masyarakat bisa mendapatkan kepastian hukum yang jelas", ujar Mahendra.
Selain reforma agraria, Bank Tanah juga berkomitmen membangun kolaborasi lanjutan dengan pemerintah daerah dan pihak terkait, termasuk pengembangan pendidikan melalui Sekolah Rakyat di Kabupaten Sigi.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf







