
Pantau - Anggota Komisi II DPR RI Indrajaya menyatakan dukungannya terhadap usulan pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD, bukan secara langsung oleh rakyat seperti saat ini.
Menurutnya, pilkada langsung telah memicu berbagai persoalan serius seperti korupsi kepala daerah, politik uang, pelanggaran netralitas ASN, serta pemborosan anggaran negara.
"Pilkada langsung telah menyebabkan banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi karena mahalnya biaya politik," ujarnya.
Data KPK dan ICW Soroti Tingginya Korupsi Kepala Daerah
Indrajaya merujuk pada data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mencatat sejak 2004 hingga 3 Januari 2022 terdapat 22 gubernur dan 148 bupati/wali kota yang ditindak karena kasus korupsi.
Sementara laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sepanjang 2010–2018 terdapat 253 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh aparat penegak hukum.
Ia juga menilai praktik politik uang dalam pilkada langsung semakin tak terbendung dan seringkali terungkap dalam sidang perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
Selain itu, pelanggaran netralitas ASN juga menjadi perhatian serius.
Menurut Indrajaya, ASN yang seharusnya netral justru tergiring berpihak, baik karena tekanan dari petahana maupun secara sukarela demi kepentingan politik.
Beban Anggaran dan Kegaduhan Hukum Jadi Alasan Evaluasi
Dari sisi anggaran, pilkada langsung dianggap sangat membebani keuangan negara.
Sebagai contoh, Pilkada Serentak Nasional 2024 memerlukan dana hingga Rp41 triliun.
Ia menyebut Pilkada 2024 sebagai puncak dari lima gelombang pilkada serentak (2015, 2017, 2018, 2020, dan 2024), dan menegaskan bahwa momentum ini harus menjadi bahan evaluasi menyeluruh.
"Pilkada lewat DPRD dianggap bisa menghentikan kegaduhan hukum," ucap Indrajaya.
Ia mencatat bahwa Undang-Undang Pilkada telah mengalami empat kali perubahan sejak 2015, yakni melalui:
- UU Nomor 1 Tahun 2015
- UU Nomor 8 Tahun 2015
- UU Nomor 10 Tahun 2016
- UU Nomor 6 Tahun 2020
UU Pilkada juga disebut sebagai undang-undang yang paling banyak diuji materi di Mahkamah Konstitusi.
Sepanjang 2024 saja, MK mencatat ada 35 kali uji materi terhadap undang-undang ini.
Banyaknya gugatan tersebut dinilai sebagai indikasi lemahnya kajian legislasi serta kuatnya kepentingan politik dalam penyusunannya.
Indrajaya menyatakan bahwa DPR kerap menjadi “tumbal” dari kegaduhan hukum yang muncul akibat ketidakpastian regulasi pilkada.
Ia menyimpulkan bahwa untuk memperkuat kualitas demokrasi dan meredam instabilitas hukum, pilkada melalui DPRD merupakan langkah strategis yang perlu dipertimbangkan secara serius.
- Penulis :
- Aditya Yohan
- Editor :
- Tria Dianti